Aktivitas batuan
beku di Kepulauan Indonesia di beberapa tempat yang secara stratigrafi
terletak pada batuan berumur tua hanya dijumpai dalam bentuk intrusi
abisal dan hipabisal. Namun demikian aktivitas vulkanisma secara umum
merupakan salah satu proses utama dalam perkembangan geologi kepulauan
ini.
Kepulauan
Indonesia adalah salah satu daerah gunungapi di dunia yang memiliki
lebih dari 500 gunungapi muda dan 177 di antaranya aktif. Pengelompokan
gunungapi ini terdiri dari gunungapi aktif dalam waktu sejarah, tahap
solfatar dan fumarol dan lapangan solfatara-fumarol. Untuk Indonesia
tahun 1600 diambil sebagai batas praktis untuk membatasi waktu sejarah
menyebutkan gunungapi tersebut aktif atau tidak. Penyebutan ini
sebenarnya relatif, karena boleh jadi suatu hari gunungapi yang pasif
akan aktif lagi.
PRODUK LETUSAN GUNUNGAPI
Gunungapi-gunungapi
di Kepulauan Indonesia menunjukkan tingkat letusan yang tinggi,
dicirikan dengan material lepas yang dominan dibandingkan dengan seluruh
material vulkanik yang keluar. Ritmann menghitung angka indeks erupsi
gunungapi (IEG) dari Asia sekitar 95%, Filipina-Minahasa lebih dari 80%,
Halmahera lebih dari 90%, Papua New Guinea lebih dari 90%, Busur Sunda
sekitar 99%. Harga tertinggi IEG dalam sejarah tercatat pada letusan
Tambora tahun 1815. Hal ini menunjukkan bahwa letusan yang kuat
merupakan karakter dari gunungapi tipe orogen.
Breksi Gunungapi
Penamaan lahar
pertama kali digunakan di Indonesia untuk menyebutkan breksi gunungapi
yang ditransport oleh air. Istilah tersebut sekarang telah digunakan
dalam acuan-acuan geologi dan vulkanologi. Lahar merupakan aliran lumpur
yang mengandung material rombakan dan bongkah-bongkah menyudut berasal
dari gunungapi. Endapan lahar mampu mencapai ketebalan beberapa meter
sampai puluhan meter. Fragmen-frahmen penyusun terletak diantara matriks
yang membulat sampai menyudut. Bongkah lava yang tertransport dapat
mencapai beberapa meter kubik. Lahar dapat dibedakan menjadi beberapa
jenis, yaitu lahar dingin dan lahar panas. Lahar dingin tidaklah secara
khusus berhubungan dengan aktivitas gunungapi. Ia dapat dipicu oleh
hadirnya hujan di atas normal pada lereng yang tertutup oleh material
lepas. Contoh lahar yang dipicu oleh hujan antara lain terdapat pada
pelaharan G. Merapi yang mempunyai kisaran sebaran 25-30 km, serta lahar
G. Raung mencapai jarak 40 km. Lahar dingin ini juga dapat dipicu oleh
gempa, misalnya yang terjadi di Bengkulu pada tahun 1933. Lahar panas
dapat disebabkan oleh pengosongan danau kawah, baik karena pembentukan
kawah oleh amblesan maupun letusan. Letusan danau kawah akan menyebabkan
arus lumpur panas, sehingga air akan bercampur dengan material
gunungapi yang panas. Contoh pembentukan lahar ini terjadi di G. Kelud.
Guguran abu
vulkanik di lereng gunungapi disebut ladu. Ladu merupakan campuran
fragmen lava, dengan pasir dan abu yang dibentuk dari kubah aktif atau
aliran lava. Ladu akan disebut sebagai awan-panas guguran ketika volume
yang digugurkan menjadi besar dan terdiri dari bongkah lava membara
merah pijar dan bergerak cepat. Apabila jumlah material yang gugur
sangat besar, maka diasumsikan awan-panas guguran ini sudah merupakan
karakter dari awan-panas letusan (Lacroix, 1930). Distribusi guguran
gunungapi sangat dipengaruhi oleh topografi lokal. Guguran ladu
cenderung mengikuti lembah; sementara guguran awan-panas akan menerjang
melintasi lembah dan punggungan.
Suhu awan-panas
di bagian dalam sangat tinggi, sementara di bagian tepi lebih cepat
mendingin, sampai di bawah 450° C. Aliran awan-panas mampu menghanguskan
tumbuh-tumbuhan, berbahaya bagi manusia dan hewan, serta merusak
paru-paru. Suhu ladu relatif tinggi, diasumsikan suhu awal setingkat
aliran lava antara 800°-1000° C. Setelah di kaki kerucut gunungapi suhu
menurun menjadi 400o-450oC. Hartmann (1933)
mengemukakan bahwa ladu G. Merapi mengandung COS, campuran berasal dari
material organik dan belerang pada suhu di atas 400° C.
Hujan
menyebabkan munculnya letusan sekunder yang kuat di endapan ladu baru.
Ini merupakan hasil dari pembentukan uap air suhu tinggi, dan juga
akibat oleh reaksi: COS+H20-CO2 t+H2S t+q (koefisien pemanas).
Neuman van Padang (1933)
mengemukakan bahwa kecepatan jatuhan batu sekitar 30-35 m/detik pada
kemiringan 35°, sedang kecepatan awan-panas guguran berawal dari 15-20
m/detik. Apabila terjadi peningkatan suhu lava dari 850°C menjadi 950°C,
serta peningkatan kandungan gas, maka lava didorong ke luar oleh
letusan kecil, sehingga masuk dalam kategori awan-panas letusan
(Lacroix, 1930). Kecepatan awan-panas jenis ini sekitar 30-40
meter/detik, melebihi kecepatan guguran kubah lava. Penghancuran bongkah
lava panas sepanjang peluncuran mendorong keluarnya gas yang tertekan.
Efek dari pelepasan gas dan udara panas ini menjadikan tidak terjadi
gesekan antar fragmen padat batuan. Ini menyebabkan selama terjadi
awan-panas tidak terjadi bunyi bergemuruh.
Lacroix,
Escher, dan Neuman van Padang telah menggolongkan awan-panas dari
beragam aliran bongkah, pasir dan abu di lereng kerucut gunungapi. Semua
awan-panas menunjukkan tipe guguran selama fase awal dan fase akhir
dalam siklus erupsi, atau tipe letusan selama fase utama atau fase gas.
Awan-panas ini naik tegak lurus ke atas, dan pada waktu yang sama suatu
awan-panas menurun sepanjang lereng kerucut. Letusan memberikan jejak
berbentuk kembang kol yang membubung ke atas.
Kerucut
gunungapi muda mempunyai struktur labil sehingga mudah longsor dan
membentuk rombakan di kaki lereng. Contoh kasus ini terdapat di G. Raung
dan G. Galunggung. Di G. Raung, longsoran gunungapi membentuk
bukit-bukit kecil di kaki gunungapi. Semula bukit-bukit ini dianggap
pusat erupsi parasiter, tetapi Neuman van Padang (1939) membuktikan
bahwa bukit tersebut merupakan sisa-sisa retas lava sepajang 60 km. Di
sekitar G. Galunggung terdapat 3.600 bukit-bukit kecil yang dikenal
dengan Perbukitan Seribu. Total volume bukit 142.4 juta m3,
atau hanya 1/20 dari total volume sektor yang longsor. Pembentukan
perbukitan ini diasumsikan terjadi karena kaldera dengan dinding tipis
yang tersisa didorong ke luar, maka serakan dinding kaldera membentuk
bukit-bukit di kaki gunungapi. Peristiwa di G. Raung dan G. Galunggung
ini mungkin merupakan longsoran sangat besar yang kejadiannya dipicu
oleh gempabumi, pembentukan retakan, guguran vulcano-tectonic, atau oleh erupsi ultra-volcanicseperti yang terjadi di Bandai-Sandi Jepang.
Pasir dan Debu Gunungapi
Breksi
gunungapi nampak seperti hasil dekomposisi sekunder, penghancuran
ekstrusi lava primer, pasir dan debu gunungapi. Transisi antara keduanya
dibentuk oleh awan-panas dari ladu. Endapan seperti itu sering
ditemukan di sekitar depresi volcano-tectonicseperti
Toba dan Ranau di Sumatra. Endapan ini tidak disebarkan melalui udara,
tetapi oleh aliran tufa mengikuti relief topografi. Aliran tufa ini
dapat mencapai ketebalan beratus-ratus meter, dan endapan bagian bawah
kadang terlaskan oleh proses auto-pneumatolitic,sebagai pembentukan ignimbrit. Endapan tersebut biasanya dihubungkan dengan erupsi celah jenis Katmaian.
Pasir
dan debu akan tersebar di sekitar pusat erupsi gunungapi. Variasi
endapan tersebut dengan breksi dan aliran lava akan membentuk struktur
perlapisan (strato-volcanoes). Setelah letusan, abu vulkanik yang
menutup permukaan. Pengendapan kembali abu vulkanik ini membentuk
aliran lumpur dingin atau lahar di kaki gunungapi. Komposisi debu
vulkanik yang dijatuhkan berubah sesuai dengan jarak dari pusat letusan.
Unsur yang berat, seperti piroksen, ampibol dan bijih jatuh di dekat
gunungapi, sedangkan partikel-partikel ringan dan gelas menyebar lebih
luas.
Aliran Lava
Oleh
karena explosivitas yang tinggi, breksi dan debu menjadi produk utama
gunungapi di Indonesia, namun aliran lava juga merupakan gejala yang
umum dijumpai. Contoh terbaru, lava mengalir dari celah pada G. Batur
pada tahun 1926 (Stehn, 1928) dan aliran lava parasitik terjadi di G.
Semeru pada tahun 1941 (Bemmelen, 1948). Tingkat kemampuan pengaliran
sangat bervariasi. Aliran lava G. Merapi selama November-Desember 1930
rata-rata 300.000 m3per hari, sedang pada tahun 1942-1943 rata-rata 12.000-15.000 m3per hari.
Aliran
lava panas relatif dinamis, mengikuti lembah sungai sebagai aliran,
atau berlembar seperti tirai lava hasil erupsi fase B dari Tangkuban
Prahu. Aliran lava dalam viskositas rendah dapat berbentuk lorong lava,
sebab inti cairan lava terus mengalir setelah pembekuan mantel sebelah
luar. Van Den Bosch (1941) mendeskripsikan contoh aliran lava andesitik
ke dasitik yang jauh lebih kental, sehingga membentuk lidah lava.
Kubah Lava
Sifat kekentalan
magma meningkat sebanding dengan penambahan kandungan silika. Sebagian
andesit dan dasit yang sangat asam, akan mudah membentuk kubah, yang
kadang-kadang disertai dengan lidah lava tebal menonjol pada bagian
bawahnya. Banyak contoh dapat ditemukan di Indonesia, misalnya di erupsi
Galunggung 1918, Kelud 1920, dan Merapi. Sekitar 40 kubah lava di
Indonesia telah dideskripsi menjadi beberapa tipe. Hartmann menaksir
bahwa separuh jumlah gunungapi aktif memproduksi kubah lava dengan
kandungan 55% Si02, miskin gas, dan dengan suhu sekitar 95oC.
Bentuk kubah
dipengaruhi oleh konfigurasi dari tempat lava diekstrusikan. Kubah
tumbuh seiring dengan penambahan energi dari dalam sehingga luar lapisan
sangat diregangkan. Akan terjadi semacam stratifikasi mantel berurutan
yang paralel dari luar ke dalam dengan ketebalan sampai beberapa meter.
Kubah yang terbentuk mempunyai kemiringan kubah antara 35°- 40°. Akhir
pembentukan kubah lava akan membentuk depresi di bagian puncaknya.
Depresi ini merupakan hasil berbagai faktor, seperti penyusutan oleh
pendinginan, atau berhentinya tekanan ke atas.
JENIS AKTIVITAS GUNUNGAPI
Kepulauan Indonesia
menunjukkan adanya aktivitas gunungapi yang mempunyai cakupan luas.
Mulai dengan ketenangan solfatara dan fumarole, dan meningkat secara
ritmik, sehingga pelepasan energi di kawasan ini dapat dipelajari,
termasuk letusan yang tidak terduga dari Tambora pada tahun 1815 dan
Krakatau pada tahun 1883.
Aktivitas Solfatara dan Fumarol
Aktivitas
solfatara dan fumarole mencerminkan kenaikan kandungan gas ke
permukaan. Separuh pusat gunungapi aktif di Indonesia (89 dari 177)
menunjukkan gejala ini.
Letusan Freatik
Letusan
yang freatik terjadi karena adanya penambahan material gas yang mudah
menguap (air, gas sulfur, karbondioksida dan semacamnya) yang berada di
atas tubuh batuan beku yang panas, tetapi tidak diekstrusi oleh batuan
tersebut. Contoh erupsi ini terjadi pada erupsi lumpur Kawah Baru di G.
Papandayan pada kawah 1923 (Taverne, 1925), dan di Suoh pada tahun 1933
(Stehn, 1934). Erupsi freeatik Suoh memberikan pemahaman yang luar
biasa. Pertama, letusan freatik yang dipicu oleh gempa bumi tektonik
sangat jarang terjadi. Kedua, merupakan letusan freatik terbesar yang
pernah diamati. Total jumlah lumpur yang dierupsikan sekitar 210 juta m3, menutupi daerah 35 km2dengan ketebalan lapisan lumpur di pusat erupsi sekitar 20 m. Stehn mengkalkulasi kedalaman letusan mencapai 270 m.
Gunungapi Orogen
Gunungapi
orogen normal memproduksi material magmatik alkali kapur, yang
bervariasi dari erupsi eksplosif paroksismal tipe Plinian, sampai
effusif lemah berupa sumbat lava. Jenis aktivitas gunungapi terutama
tergantung pada dua faktor: a) sifat alamiah magma dan dinamika gas di
dalamnya, dan b) komposisi kimia batuan, dan hubunganya dengan kandungan
gas.
Escher (1933)
menunjukkan bahwa karakter letusan terutama ditentukan oleh tekanan gas
dan sifat kekentalan. Letusan Merapi merupakan prototipe aktivitas dari
gunungapi tipe orogen di Indonesia. Gunungapi ini menunjukkan variasi
karakter letusan yang beranekaragam. Kadang bersifat paroksismal dan
meletus dengan waktu singkat dan kesempatan lain lava kental menerobos
keluar pelan-pelan dari lubang konduitnya. Komposisi kimia dari lava,
bagaimanapun, hanya sangat sedikit variasi dalam periode historis ini
(54-55% Si02), sedemikian sehingga yang sifat kekentalan boleh berbeda dengan suhu tetapi sebenarnya relatif konstan.
Hartmann (1935)
menggolongkan letusan Merapi ke dalam empat kelompok, berdasarkan isi
gas dari letusan magma. Empat kelas ini menjadi proto-types dari
gunungapi tipe orogen normal dengan produk batuan beku alkali kapur
menengah. Secara umum, kelas A tidak menyebabkan letusan utama. Pada
kelas B krisis mengikuti suatu fase awal, biasanya cukup waktu untuk
pengungsian dan ukuran pencegahan lain. Yang paling berbahaya adalah
letusan dari jenis C dan D, dengan pelepasan energi utama gunungapi
tidak lama setelah permulaan siklus letusan.
Tabel 1: Penggolongan Erupsi Gunungapi (Hartmann)
Kelas A
|
Wujud
letusan sedikit / miskin gas. Fase awal dimulai dengan satu letusan
kecil yang mengawali ekstrusi lava. Fase utama berupa pembentukan kubah
lava dengan kecepatan 12.000 – 30.000 m3 per
hari, sampai kubah mencapai volume besar, dan kemudian pertumbuhan
kubah berhenti. Siklus diakhiri dengan proses guguran lava pijar yang
berasal dari kubah. Kejadian guguran lava pijar dan awan-panas kecil
dapat berlangsung.
|
Kelas B
|
Wujud letusan lebih cukup banyak gas. Siklus
diawali dengan adanya kubah lava sebagai batuan penutup kawah. Fase
awal dimulai dengan letusan kecil yang menghancurkan batuan penutup.
Fase utama berupa letusan tipe Vulkano yang bersumber di kubah lava dan
menghancurkan kubah lava yang ada. Letusan menghasilkan asap letusan
Vulkanian. Sebagian material kubah yang hancur manjadi awan-panas yang
menyertai letusan tersebut. Fase akhir diisi dengan aliran lava kental
atau pertumbuhan kubah lava baru pada bagian kubah atau di samping
kubah yang hancur.
|
Kelas C
|
Wujud
letusan lebih banyak gas. Fase awal dimulai dengan adanya sumbat lava
(bukan kubah lava) yang menutup kawah. Fase utama berupa letusan tipe
St Vincent yang menghasilkan lubang baru. Fase akhir diisi dengan
aliran lava, lidah lava, atau pertumbuhan kubah lava baru pada bagian
kubah yang hancur. Jangka waktu letusan bervariasi, tetapi biasanya
singkat. Ketika tekanan gas telah diturunkan oleh letusan ini, magma
kental naik ke lubang konduit, sehingga menyebabkan suatu fase akhir
dengan aliran lidah lava atau pembentukan suatu kubah lava.
|
Kelas D
|
Wujud
letusan lebih sangat kaya gas. Fase awal berupa letusan kecil yang
melemparkan isi kawah. Fase utama berupa letusan tipe Perret yang
langsung menyembur dan menghancurkan bagian atas tubuh gunungapi. Fase
akhir diisi dengan aliran lava mengisi bagian tubuh gunungapi yang
hancur. Pentingnya awan-panas yang menyertai erupsi ini sangat kuat,
sebab puncak dari gunungapi adalah sering sebagian dirusak sepanjang
fasa-utama dan material tua, begitu menambahkan kepada material baru,
maka akan meningkatkan volume ladu dan menyertai awan-panas sepanjang
fase erupsi.
|
Letusan Plinian
Letusan
paroksismal paling kuat aktivitas gunungapi dimiliki oleh tipe Plinian.
Salah satu contoh dikenal terbaik adalah letusan Krakatau pada tahun
1883 yang diuraikan Verbeek (1885), juga Escher (1919) dan Stehn (1929).
Gentilli ( 1948) mempelajari kemungkinan efek dari letusan Krakatau
1883 pada iklim dunia.
Salah
satu dari bencana gunungapi yang terbesar di zaman sejarah menjadi
letusan dari Tambora pada 1815. Selama letusan ini tentang 150 juta m3produk
gunungapi dikeluarkan dan menyebabkan 92.000 korban yang merupakan
seperempat total korban dari letusan gunungapi di dunia.
Letusan Katmaian
Di Indonesia tidak ada letusan jenis Katmaian. Letusan pernah
terjadi pada zaman Holosen di Pasumah dan Toba. Studi mendalam aliran
tufa liparit dan lava liparit akan mungkin mengungkapkan bahwa letusan
celah itu jenis Katmaian, yang memproduksi ignimbrit.
Menurut Westerveld
(1942) ignimbrit Pasumah di Sumatra Selatan juga merupakan aliran tufa
riolitik yang terlaskan. Kristalisasi epigenetik gelas dari endapan
tufa, dengan pembentukan albite sekunder dan tridimite dimasukkan
sebagai pneumatolitik pada suhu 600° dan 400oC atau lebih rendah. Tufa Tuba di Sumatra Utara dikenali sebagai ignimbrit. Ignimbrit ini juga dikenali sebagai quartz-trachytes, quartz-trachyte-andesites,
liparit, tufa liparit, atau riolit, yang pada dasarnya semua adalah
batuan piroklastic. Tufa Toba tersebut menutupi kawasan seluas
20.000-30.000 km2dan jumlah material yang secara umum disebut piroklastik ini terdiri dari kira-kira 1.500-2.000 km2.
Gunungapi Baru
Di Kepulauan ini gunungapi
baru jarang terbentuk di dalam zaman historis. Di tahun 1898
pembentukan maar terjadi di Perkebunan Kali Jeruk, kaki G. Lamongan.
Di
tahun 1943, di G. Pegunungan di Timur Laut Papua, letusan gunungapi
terjadi pada suatu tempat sebelumnya tidak ada gunungapi aktif direkam,
meskipun demikian ada laporan bahwa ada aktivitas solfatar di daerah
ini.
Aktivitas Gunungapi Bawah Laut
Neuman van Padang (1938) menyebutkan pusat aktivitas gunungapi bawah laut berikut di Kepulauan Indonesia dan tetangganya.
Karakter
dari suatu letusan sebagian besar ditentukan oleh sifat kekentalan dari
magma dan tekanan gas. faktor yang membentuk tergantung pada komposisi
kimia dan suhu. Magma subsilicatic basa sangat encer dibanding asam dan
intermediet. Kita dapat menyusun berbagai jenis aktivitas gunungapi
menurut tekanan gas dan yang sifat merekat di dalam tabel 2.
Tabel 2: Hubungan tekanan gas dan kekentalan lava
Kekentalan rendah
|
Lembar lava, dengan contoh pada basal Sukadana dan erupsi fase B dari G. Tangkuban Prahu
|
Stromboli, dengan contoh pada erupsi G. Batutara
|
Erupsi tipe Plinian, dengan contoh pada pembentukan kaldera G. Tambora 1815
|
Kekentalan menengah
|
Aliran lava, dengan contoh pada erupsi G. Batur 1926 dan G.Semeru 1941
|
Erupsi intermittent yang disebabkan oleh hujan dan awan panas, dengan contoh erupsi G. Semeru 1885 – 1913
|
Erupsi tipe Plinian , dengan contoh pada pembentukan kaldera G. Krakatau 1883
|
Kekentalan tinggi
|
Kubah lava, misalnya pada erupsi G. Galunggung 1918 dan G. Merapi 1940
|
Letusan yang disebabkan oleh hujan dan awan-panas dengan contoh di G. Merapi 1930-1935, 1942-1943
|
Erupsi tipe Katmai, dengan contoh erupsi pra sejarah di Posumah
|
Tekanan gas rendah
|
Tekanan gas menengah
|
Tekanan gas tinggi
| |
Klasifikasi
|
A
|
B-C
|
D
|
PERIODISITAS AKTIVITAS GUNUNGAPI
Contoh
baik periodiditas yang teratur tidak dijumpai karena tidak ada
pengamatan detil, tetapi juga karena variabilitas dari faktor eksternal.
Meskipun demikian, pengamatan dari dekat kadang-kadang menunjukkan
suatu kecenderungan siklus, yang mungkin ditafsirkan sebagai ungkapan
suatu kecenderungan waktu periodisitas aktivitas gunungapi.
Krakatau
Suatu irama dengan perioda
erupsi yang berabad-abad ditunjukkan oleh kelompok Krakatau. Disini
terdapat tiga siklus deferensiasi magmatik yang sesuai dengan
peningkatan kandungan silika dari produk erupsi, yaitu fase Krakatau
purba, fase Rakata, fase Perbuatan dan fase Anak Krakatau. Deduksi
teoritis ini mempunyai hubungan yang tegas dengan tindakan pencegahan
terhadap ancaman Krakatau. Ini penting untuk mendukung rasa hormat pada
ahli gunungapi. Kejadian meletusnya Krakatau menunjukkan bahwa letusan
akan cenderung diikuti oleh pengrusakan, dan bahkan akan menyebabkan
ribuan orang meninggal. Penganan jauh hari penting dilakukan untuk
menghindari.
Semeru
Semeru
menunjukkan kecenderungan yang berbeda dalam waktu tertentu dalam
langkah-langkah aktivitasnya: antara periode aktivitas yang kita
temukan, periode tidur musim istirahat, serta durasi untuk tiap-tiap
orde. Tetapi periodisasi aktivitasnya berumur beberapa hari sampai
beberapa bulan dipisahkan oleh interval istirahat.
Kelud
Periode istirahat G.
Kelud 1-12 tahun. Secara periodik meletus, membuang isi danau kawah di
puncaknya. Ini menyebabkan bencana akibat suhu solfatar pada banjir
lahar yang melanda lahan subur dan pemukiman di kaki gunungapi.
BENTUKAN GUNUNGAPI
Klasifikasi
genetis bentukan vulkanik dapat diberikan, dan mempunyai keuntungan
bahwa itu memungkinkan kita menguraikan hubungan antara proses tektonis
dan gunungapi.Hasil bentukan gunungapi dapat dikelompokkan ke dalam dua
kelas utama, yaitu a) bentukan positif (protuberance), dan b) bentukan negatif (hollow). Kedua-duanya dapat dibagi menjadi dua sub kelompok, yaitu sub-kelompok gunungapi, dan sub-kelompok volcano-tectonic.
Bentukan Positif Gunungapi, terjadi karena volume magma yang dikeluarkan sama dengan volume magma yang menekan ke atas. Termasuk golongan ini adalah: lava shield di Sukadana, comulo volcanoes di Lampung, cinder cone di G. Lamongan, dan strato volcanoes G. Merapi. Bentukan Positif Volcano-tectonic terjadi
karena volume magma yang ditekan ke atas melebihi volume material yang
dikeluarkan di permukaan. Termasuk dalam kelompok ini adalah punggungan
akibat injeksi lakolit dan pengangkatan geantiklin karena gaya magma
endogen. Termasuk golongan ini adalah pengangkatan karena pembubungan
lakolit di kompleks Mapas, pengangkatan karena pembubungan batolit di
Batak tumor, serta pengangkatan geantiklin karena pembubungan astenolit,
misalnya di perbukitan Barisan.
Bentukan
gunungapi negatif terjadi ketika jumlah material yang disebarkan oleh
letusan lebih besar dari material yang dikirimkan dan disimpan di dalam
kawah. Bentukan negatif gunungapi terdiri dari bentukan letusan atau
bentukan amblesan.
Bentukan negatif
dapat terjadi karena kegiatan letusan dan amblesan. Bentukan karena
letusan terjadi ketika material yang dipindahkan lebih banyak dibanding
magma yang dikirimkan ke permukaan. Bentukan eksplosif ini dapat berupa
maar, misalnya di Grati, dan kawah di banyak tempat. Bentukan amblesan
(kaldera) misalnya di Tengger. Bentukan negatif Volcano Tectonic dapat terjadi karena rifft-structure dan subsidence-structure. Rifft-structures (barranco, sector-graben
dan lainnya, yang disebabkan oleh runtuhan kerucut vulkanik, misalnya
G. Surapati; disebabkan oleh pengangkatan kerucut, misalnya G. Merbabu,
disebabkan oleh tectonic arching, G. Ringgit-Beser. Subsidence structure, misal G. Ungaran.
Tanakadate (1929)
memerikan beberapa tipe kaldera, yaitu: a) Kaldera Kawah, terdapat di
bagian puncak dan dengan bentuk relatif bulat, sehingga seperti kerucut
terpotong. Contoh kaldera jenis ini terdapat di Tengger dan Batur. b)
Kaldera Depreso berhubungan dengan gunungapi maupun kompleks gunungapi,
tetapi tidak selalu berubungan dengan pusat erupsi. Contoh kaldera ini
di Bantam. c) Tipe kerucut, berbentuk konkoidal yang merupakan hasil
erupsi 2 kawah bersamaan, yang berbeda dengan 2 sebelumnya. Cekungan Pilomasin di Lampung merupakan contoh kaldera ini.
KOMPOSISI PRODUK GUNUNGAPI
Produk Batuan
Hampir seluruh gunungapi aktif di kepulaian Indonesia menghasilkan batuan yang berasal dari magma kapur alkali. Perkecualian
hanya terdapat pada letusan G. Tambora di Sumbawa Utara pada tahun 1815
dan G. Batu Tara di Laut Flores yang leusitik (Hartmann. 1935; brouwer,
1940). Volkanisma orogen memproduksi batuan yang bervariasi mulai
gabro, diorit dan tonalit. Komposisi diagram diferensiasi magma pada
busur kepulauan Sunda menunjukkan hubunagn nilai Al (alumina), Fm
(feromagnesian), dan Alk (alkali) dengan Si (silika).
Perubahan
komposisi dalam perkembangan gunungapi terjadi secara bertahap dari
basa (basaltik) ke asam (dasit liparit). G. Tanggamus di Sumatra Selatan
pada erupsi awal menghasilkan lava basalt olivin yang mengandung SiO2antara 52 – 53%, yang diikuti tufa liparit yang mengandung SiO2 73%, dan diakhiri dengan sumbat lava latit yang mengandung SiO270%. (Van Bemmelen & Esenwein, 1932).
G.
Krakatau di selat Sunda memiliki 3 siklus yang masing-masing dibatasi
oleh amblesan besar. Batuan tertua terdiri dari andesit hipersten yang
mengandung silika 70%. Pasca amblesan pembentukan kaldera, gunungapi ini
menghasilkan batuan sangat asam yang mengandung 71% SiO2. Siklus magmatisma berikutnya dimulai dari basalt Rakata yang mengandung 50 % SiO2,
dan mengalami peningkatan menjadi 53 %. Peningkatan silika ini diikuti
erupsi G. Danan and G. Perbuwatan yang mengerupsikan lava yang
mengandung Si02 lebih dari 60%.
Selama 2 abad kandungan SiO2G.
Krakatau berkisar pada 69 %. Pada tahun 1883 siklus ini diakiri dengan
adanya erupsi tipe Plinian yang memprodusi material lepas yang
mengandung SiO2berkisar antara 64 – 67 %. Setelah erupsi
besar tersebut, kandungan SiO2 kembali rendah dan secara bertahap
meningkat kembali, sehingga menjadi sekitar 51 % pada pada tahun 1928,
52 % pada tahun 1930, dan 76 % pada tahun 1935.
Kelompok
gunungapi Dieng di Jawa Tengah menunjukkan peningkatan keasaman yang
jelas dalam tahapan perkembangan erupsinya (Neumann Van Padang 1936; Van
Bemmelen 1937). Aktifitas magmatisma dimulai dengan basalt yang
mengandung 51 – 52 % SiO2; diikuti dengan andesit hipersten yang mengandung 53 – 56 % SiO2, andesit hornblenda yang mengandung 57 % SiO2dan akhirnya andesit biotit yang mengandung 60,5 – 63 % SiO2.
G.
Ungaran di dekat Semarang menunjukkan tiga tahap pertumbuhan yang
dipisahkan oleh dua amblesan (Bemmelen 1941 dan 1943). Tahap pertama
aktivitas gunungapi ini terjadi pada Pleistosen bawah sampai Pleistosen
Tengah sebagai penyusun Formasi Damar. Pertumbuhan gunungapi tahap
pertama ini memproduksi andesit basaltis sampai andesit biotit. Tahap
kedua terjadi pada Pleistosen atas dan Holosen yang memroduksi andesites
biotit yang mengandung 54 – 57% S02. Selanjutnya tahap terakhir gunungapi ini menghasilkan andesit horblenda yang lebih asam.
Kompleks Tengger di Jawa Timur juga menunjukkan peningkatan kandungsn Si02 selama
evolusinya. Fase kontruksi pertama, G. Tengger purba memproduksi gabro,
diorit gabro dan diorit yang mengandung 50 – 54 % Si02. Fase
kontruksi kedua berupa aliran lava yang terjadi setelah amblesan sektor
utara yang memanjang sampai selat Madura (yang kemudian dikenal dengan
lembah Sapikerep). Lava ini memiliki viskositas rendah yang mengandung
51 – 56 % SiO2. Fase kontruksi ketiga terjadi setelah
amblesan pembentukan kaldera Laut Pasir. Gunungapi yang ada di dalam
kaldera Lautpasir tersebut memproduksi batuan yang mengandung 55 – 59 %
Si02.
Di
kawasan Toba, aktivitas gunungapi andesitik hadir sebelum dan sesudah
erupsi liparit Toba. Sebelum erupsi besar liparit, andesit yang
dierupsikan mengandung 55 – 62 % Si02. Erupsi besar mengandung liparit biotite – hornblende yang mengandung 67 – 69 % Si02. Pada akhirnya, pasca erupsi liparit, erupsi Toba memproduksi andesit yang mengandung 56- 58 % SiO2.
Ekshalasi dan Mata-air Panas
Memahami komposisi ekshalasi gunungapi
dan pasca gunungapi, secara teoritis berhubungan dengan formasi magma,
pneumatolitik dan metamorfisma hidrotermal, dan cebakan mineral.
Menurut A. Brun solfatar terpanas dari G. Papandayan yang bersuhu lebih dari 3.000oC
tidak mengandung air, padahal sebagian besar yang ada di Indonesia
berasal dari penguapan air. Geilmann & Biltz (1931) menyatakan bahwa
endapan sulfur di solfatar G. Papandajan terdiri dari dua jenis sulfur.
Sulfur sublimat berwarna kuning mengandung 99% sulfur murni, sedang
sulfur abu-abu mengandung 94% sulfur murni. Ekshalasi pada ujung aliran
lava di G. Batur setelah erupsi pada tahun 1926, menunjukkan suhu
tinggi, antara 215o– 575o(Stehn, 1928). Hartmann
(1933) menyatakan bahwa fumarola sekunder pada endapan awan panas
mempunyai suhu mencapai 100° C. Gas keluar dengan telanan rendah dan
menunjukkan adanya sublimasi sulfur, dan terdiri dari 90% air dengan
beberapa persen CO2dan COS. COS dapat dibentuk oleh kontak C
dan S pada suhu di atas 400°C. Kandungan COS yang tinggi di fumarola
sekunder endapan awan panas Merapi menunjukkan bahwa gas ini telah
dibentuk di dalam endapan itu. Produk sublimasi terutama belerang dan
bercampur dengan oksida dan klor. Komposisi produk sublimasi tergantung
pada suhu gas. Sebagai contoh, di solfatara sekunder dekat Maron
membentuk klor pada suatu suhu 230oC.
Kajian
mata air panas telah banyak dilakukan. Beberapa mata air panas di
Indonesia berhubungan dengan aktivitas gunungapi, misalnya mata air
panas di Cipanas yang bersuhu 44oC berhubungan dengan aliran lava G. Guntur. Begitu pula Danau kawah Idjen berisi berisi sekitar 40 juta m3air
asam, sehingga danau kawah ini merupakan akumulasi air asam terbesar di
dunia. Suatu analisa telah dibuat oleh Van Tongeren bahwa air asam
danau kawah ini ini merupakan hasil reaksi air asam yang sangat kuat
sebagai asam radikal yang melebihi oksida logam. Endapan jarosit
terdapat di mata air Ciater dan di lereng Utara Tangkuban Prahu. Lokasi
ini menghasilkan beratus-ratus ton jarosit dan potasium jarosites.
Endapan sulfida dari gas gunungapi terdapat di G. Sawal. Di bagian dalam barranco, 500 – 650 m dibawah kerucut terdapat propilitisasi andesit piroksen.
DISTRIBUSI GUNUNGAPI AKTIF
Distribusi Gunungapi Orogen
Kerabat
Pacific selalu menghasilkan gunungapi tipe strato. Jalur dan kelompok
gunungapi tersebut terdiri dari: (1) busur Andaman dan Nicobar; (2)
busur Pegunungan Sunda (Sumatra, Jawa, Sunda kecil dan Banda); (3) Batu
Tara - Emperor of China -
Api; (4) Una – Una; (5) Minahasa – Sangihe; (6) Zona Manila; (7)
Halmahera – Ternate; (8) busur Ruk di New Guinea; (9) New Guinea timur.
Sistem
gunungapi muda di Indonesia secara umum konsisten pada dua geantiklin
yang sejajar, di bagian dalam merupakan jalur gunungapi dan di bagian
luar merupakan jalur bukan gunungapi (non vulkanik). Contoh jalur itu
adalah busur luar Andaman – Nicobar – Sumatra Barat – Pegunungan bawah
laut selatan Jawa – Sawu – Roti – Tanimbar – Kei – Seram – Maju
Distribusi Magma Mediterania
Distribusi magma Mediterania, selalu berada di bagian dalam geantiklin gunungapi. Distribusi terbesar yang dikenal sebagai “Maros – province”
(VAN BEMMELEN, 193). Bagian selatan dari propinsi Mediterania ini
terdapat di sepanjang Pantai Utara Jawa, termasuk Bawean di Laut Jawa,
Sumbawa Utara dan Batu Tara, beberapa pulau di laut Flores dan Sulawesi
Tenggara. Magma Mediterania berasosiasi dengan kondisi tepi paparan
kontinen maupun samudra.
Gunungapi Rekahan Utama
Hubungan
antara aktifitas dan kekar dan patahan lokal sangat erat. Kita dapat
mencermati patahan dan kekar yang mendasari terbentuknya kerucut
gunungapi, khususnya pada kerucut tunggal. Di Sumatra letusan magma asam
Kuarter dengan tegas dihubungkan dengan keberadaan patahan Semangko di
sepanjang puncak geantiklin Barisan. Westerveld (1994) menduga kehadiran
gunungapi strato andisesit basaltis di Sumatra berhubungan dengan
patahan memotong sumbu geantiklin, seperti halnya diusulkan Taverne
(1926) untuk pulau Jawa. Namun hubungan ini tidak jelas. Gunungapi
strato berkomposisi basaltis sampai intermediatebiasanya
berada di puncak geantiklin dengan distribusi tidak beraturan. Boleh
jadi tempat tersebut adalah lokasi paling sesuai untuk pembentukan
gunungapi strato.
Terdapat
beberapa contoh pola kelurusan gunungapi strato andesitik yang
dipengaruhi struktur geologi lokal sehingg berposisi melintang terhadap
arah geantiklin, misalnya kelurusan gunungapi (dari utara ke selatan)
Ungaran – Soropati – Telomojo – Merbabu – Merapi di Jawa Tengah.
Perkembangan gunungapi dari tua ke muda yang lebih jelas terdapat pada
kelurusan gunungapi (dari utara ke selatan) Semangkrong – Grati –
Kompleks Tengger – Kompleks Djembangan – Kompleks Semeru di Jawa Timur.
Namun demikian terdapat kelurusan gunungapi yang nampaknya tidak
berhubungan dengan struktur geologi lokal, misalnya kelurusan gunungapi
di Halmahera.
ASPEK SOSIAL DAN EKONOMI
Aspek Sosial
Indonesia merupakan salah satu daerah gunungapi terbanyak di dunia, dengan 149 pusat erupsi. Sejak
1800 sekitar 135.000 orang meninggal, dan puluhan desa rusak karenanya.
Di pulau Jawa letusan gunungapi menjadi ancaman yang sangat berbahaya
karena penambahan dan jumlah penduduk yang besar.
Usaha-usaha
pengurangan bencana dilakukan dengan berbagai cara, antara lain : (1)
Membuat pos-pos pengamatan permanen yang dilengkapi dengan berbagai
peralatan pengamatan dan geofisika di gunungapi-gunungapi paling
berbahaya di pulau Jawa, misalnya di Papandayan, Merapi, Ijen dan Kelut.
(2). Membuat peta-peta daerah bahaya untuk gunungapi paling berbahaya,
berkenaan dengan bahaya awan panas dan lahar, misalnya di Merapi; serta
perajahan jalur evakuasi bagi masyarakat sehinnga evakuasi mudah
dilakukan. (3) Pembuatan bendung-bendung penampung dan pengarah lahar ke
wilayah tidak berpenduduk. Ini dilakukan di Kelut. (4) Pembuatan
terowongan untuk mengurangi ketinggian muka air kawah, sehingga mampu
jumlah lahar panas.
Peramalan awan panas berdasarkan seismik dan tilting untuk
mengetahui karakter dan waktu kejadian merupakan faktor penting dalam
pengurangan dampak bahaya letusan gunungapi. Ketepatan peramalan ini
penting bagi pelaksanaan evakuasi, karena biasanya hanya mempunyai waktu
pendek sehingga tidak dapat diorganisasikan dengan baik. Untuk
pelaksanaan evakuasi yang baik ini pula sangat perlu pemahaman topografi
secara rinci dan sistem pengairan di lingkungan gunungapi.
Lahar
merupakan hasil tidak langsung aktivitas gunungapi. Material lepas
hasil erupsi di lereng gunungapi yang terkena hujan deras akan
menghasilkan lahar atau aliran lumpur. Lahar dan banjir bandang akan
menerjang kaki gunungapi.
Beberapa indikasi yang menunjukkan tanda-tanda bahaya gunungapi:
- Meningkatnya frekuensi gempabumi lokal, yang secara umum hanya dapat didatakan oleh seismograf yang dipasang di dekat tubuh gunungapi.
- Bertambahnya pembubungan kubah gunungapi yang dapat didatakan oleh tilt-meter
- Memasuki masa waktu sesuai siklus yang biasanya terjadi pada gunungapi tersebut.
- Terjadi peningkatan lava dalam konduit selama siklus erupsi, sehingga erupsi dalam fase gas akan menyebabkan terjadinya awan panas letusan (Nuées ardentes d’explosions vulcaniennes).
- Ketidakstabilan kubah lava yang berada di puncak atau bagian tubuh kerucut, sehingga berpotenssi longsor membentuk ladu dan awan panas guguran (Nuées ardentes of the avalanche type )
- Akumulasi abu gunungapi dan material lepas dilereng gunungapi yang terjal dapat berkembang menjadi lahar setelah terjadi hujan lebat
- Perubahan perilaku mata air panas dan lapangan solfatar
- Perubahan sifat magnetisma lokal
- Munculnya suara-suara bergemuruh
- Gempa bumi tektonik kuat yang dapat mendorong terjadinya erupsi gunungapi.
Aspek Ekonomi
Walaupan
gunungapi suatu saatdapat menghadirkan bahaya, tetapi dalam jangka
panjang menolong masyarakat di sekitarnya. Hujan yang cenderung turun
deras akan menjadikan tanah lebih cepat lapuk dan menjadi lahan
pertanian yang subur. Erupsi-erupsi berikutnya juga akan selalu
memperbaiki kesuburannya. Kondisi ini yang menjadikan kawasan di
lingkungan gunungaapi seperti Jawa dan Sumatra, cenderung lebih padat
penduduk di banding non gunungapi seperti Borneo dan Papua.
Energi
gunungapi yang sering dianggap ancaman, dalam beberapa hal justru
bermanfaat. Hal ini misalnya terdapat pada pemboran di fumarola
Kamojang, sekitar 30 kilometer timur laut Bandung. Salah satu pemboran
pada kedalaman 66 m menghasilkan 8.300 kg uap air dengan tekanan 2
atmosfer dengan suhu 123° C. Tekanan tersebut dapat menghasilkan tenaga
listrik 200 KW. Sumur yang lain dengan kedalaman 128 m mencapai tekanan 6
atmosfer. Ada banyak fumarol lain yang sebanding dengan Kamojang yang
dapat digunakan sebagai sumber energi gunungapi.
Batuan
gunungapi dan mineral digunakan untuk tujuan industri. Hasil yang
didapatkan dalam bentuk belerang. tras, batu apung, pasir batu, roadmetal,potassic, jarosit, tawas dan lainnya
0 komentar:
Posting Komentar