Pendahuluan
Para
peneliti terdahulu telah menyampaikan kesesuaian hubungan antara
tatanan geologi dan geofisika dari busur kepulauan Indonesia dengan
tektonik global yang baru. Gagasan mengenai hubungan antara vulkanisma
dan tektonik Indonesia telah digambarkan oleh van Bemelen (1949), yang
pemahaman dan sintesisnya dengan tektonik lempeng saat ini tidak
selaras. Gagasan lebih lanjut adalah menjelaskan evolusi tektonik
Indonesia bagian barat dengan memakai data baru dan menggunakan
penentuan umur batuan granit, serta menjelaskan gejala evolusi tektonik
Indonesia bagian timur yang rumit. Di sini tektonik lempeng digunakan
sebagai dasar, memodifikasi, meningkatkannya dan melakukan perubahan
terhadap yang perbah dilakukan dalam teori klasik.
Pembaruan Model Tektonik Lempeng Indonesia
Model tektonik lempeng Indonesia dalam satu pola konvergen telah dibuat oleh Hamilton (1970) dan Katili (1971). Sistem
busur subduksi Sumatera dibentuk oleh penyusupan lempeng samudra di
bawah lempeng benua. Lempeng benua tebal dan tua ini meliputi busur
volkanik berumur Perm, Kapur dan Tersier (Katili, 1973). Sedimen
elastis sangat tebal menyusup di subduksi Sumatera (Hamilton, 1973) dan
sedimen yang tebal didorong ke atas membentuk rangkaian kepulauan.
Batuan magmatik yang dibentuk di atas zona Benioff selalu mempunyai
karakter asam dan menengah.
Sistem
subduksi Jawa dibentuk oleh subduksi lempeng samudra di bawah lempeng
benua. Lempeng ini tipis dan berumur muda, serta seluruhnya hampir
terdiri dari batuan volkano-plutonik berumur Tersier (Katili, 1973). Beberapa ignimbrit dijumpai di Jawa. Batuan magmatik kebanyakan menengah. Lempeng samudra di selatan subduksi tertutup sedimen pelagis dengan ketebalan 200 m (Hamilton, 1973).
Sistem
subduksi Timor menunjukkan karakter yang berbeda. Dua fase yang berbeda
dapat dirincikan dalam perkembangan busur Banda. Pada tahap awal,
lempeng samudra India-Australia disusupkan dibawah lempeng samudra
Banda. Tahap berikutnya diikuti oleh subduksi lempeng benua Australia ke
zona subduksi busur Banda, sebagai akibat gerakan menerus lempeng
Australia ke utara. Hasil dari penurunan zona subduksi aktif ini adalah
tidakadanya gunungapi aktif di pulau Alor, Wetar dan Romang. Jika asumsi
ini benar, maka perlu dicari material mantel (ofiolit) di endapan tua
Timor, serta sedimen darat di endapan-endapan Plio-Plistosen
Batuan
magmatis yang dibentuk di atas zona Benioff Timor cenderung menengah
dan basa. Lempeng di sini tipis dan muda dan diapit oleh lempeng benua.
Ketebalan sedimen di zona subduksi Timor saat ini sekitar 8000 kaki,
dengan kondisi yang relatif terganggu oleh sesar tensional yang dapat
diamati.
Busur
Sumatera, Jawa dan Banda menunjukkan perbedaan yang disebabkan oleh
elemen-elemen lempengnya. Lempeng yang tua dan tebal akan membentuk
rangkaian pulau-pulau besar dengan sifat gunungapi asam sampai menengah,
sedang lempeng yang muda dan tipis akan membentuk pulau-pulau kecil
dengan sifat gunungapi menengah sampai basa.
Dalam
zona subduksi Tersier di Kalimantan barat-laut jarang ditemukan
elemen-elemen eugeosinklin seperti ofiolit, rijang, lempung merah. Flish
berumur Kapur Atas – Eosen Atas yang berkembang sedikit atau tidak
mengandung rijang dan ofiolit, sehingga menunjukkan adanya subduksi
sangat miring (Haile, 1972).
Zona
subduksi kapur di Jawa Tengah yang menerus ke Pegunungan Meratus di
Kalimantan menunjukkan karakteristik dari batuan bancuh tipe Fransiscan (Sukendar, 1974) dan bentuknya yang mengarah ke subduksi Lempeng Samudra India-Australia,
Busur
luar non-volkanik Indonesia ditafsirkan sebagai zona subduksi Tersier
(Hamilton, 1970; Katili, 1973), dengan berbagai jenis petro-tektonik
yang dapat dibedakan. Pulau-pulau di pantai barat Sumatera ditandai oleh
flish tebal dengan sedikit ofiolit.
Di
pulau Timor, Seram, Buru dan Buton, sejumlah besar material sedimen
klastik ditemukan. Sedimen Plio-Pleistosen hampir seluruhnya mempunyai
karakter sedimen dan sedikit ofiolit.
Zona
Subduksi Tersier dari Sulawesi Timur menunjukkan bahwa lapisan tipis
sedimen pelagis mengisi palung. Hal yang sama terjadi di sekitar
Halmahera dan pulau kecil disekitarnya.
Kerangka Tektonik Busur Kepulauan Indonesia
Busur
Sunda memperlihatkan efek dan mekanisme tektonik lempeng yang jelas.
Bentuknya yang cembung ke arah samudra India dan perbedaan tatanan
geologi, dan geofisika diintrepretasikan berhubungan dengan gaya
tektonik yang bekerja padanya. (Hatherton dan Dickinson, 1969; Fitch,
1970; Hamilton, 1973; dan Katili, 1973).
Bentuk
busur Banda yang melengkung, serta Sulawesi dan Halmahera yang ganjil
terjadi karena gerak benua Australia dan Papua ke arah utara, yang
dikombinasikan oleh gaya dorong Lempeng Pasifik ke arah barat (Katili,
1973). Hal serupa juga dikemukakan oleh Visser dan Hermes (1962),
Audley-Charles dan Carter (1972), dan Gribi (1973). Timor, Seram, Buru
dan Buton merupakan sistem busur yang sama berkenaan dengan kesamaan
tatanan geologinya yang berasal dari hasil penunjaman Lempeng Samudra
India-Australia.
Sulawesi
pada zaman Mesosoikum kaya batuan metamorf, kecuali Buton dan Seram.
Bagian tenggara Sulawesi mengandung ofiolit yang diperoleh dari lempeng
samudra dengan endapan nikel dan krom, sedang Buton, Seram dan Timor
menunjukkan perlapisan yang mengandung hidrokarbon.
Busur
dalam volkanik Sangihe dan busur luar non-volkanik Talaud cenderung
sejajar berarah utara-selatan. Punggungan Talaud meluas sampai Mayu dan
menerus ke lengan timur Sulawesi. Punggungan bawah laut Mayu di Laut
Maluku menunjukkan gaya berat minimum yang diduga merupakan akumulasi
endapan-endapan opak dari sisa subduksi tua.
Bentuk
dua lengan Sulawesi timur dan Halmahera dapat disebandingkan dengan dua
anak panah yang bergerak ke barat. Ini telah diketahui cukup lama bahwa
lengan timur yang cembung ke arah barat terdiri dari ofiolit, dan busur
barat terdiri dari gunungapi aktif, yang di Sulawesi telah padam pada
zaman Kwarter. Sulawesi dan Halmahera merupakan busur kepulauan yang
mengarah ke utara selatan yang cembung ke arah Pasifik dengan zona
subduksi Sulawesi-Maluku yang miring ke barat.
Pergerakan
Lempeng Pasifik ke arah barat yang mengikuti sistem sesar transform
menjelaskan kompleksitas tatanan geologi kawasan Sulawesi-Halmahera.
Selama pergerakan ini pulau Banggai dan Buton dibawa ke arah timur laut.
Pergerakan Banda ke arah timur-barat hanya merupakan pelenturan, tidak
membuat sesar besar seperti halnya di Papua dan Sulawesi.
Volkanisme Kenozoikum Sampai Resen
Daerah ini mempunyai tiga fase evolusi magmatik, seperti dikemukakan oleh Stilles sebagai “initialer vlkanismus”, “synorogener putonismus” atau “subsequenter vlkanismus” dan “finaler vlkanismus”.
Tetapi konsep ini tidak dapat diterapkan dengan kaku ketika mempelajari
hubungan antara volkanisme dan tektonik di Indonesia (Katili, 1969).
Konsep Stilles hanya menunjuk satu daerah orogen, dan van Bemmelen
memperluas gagasan itu dan menerapkan hal tersebut ke zona yang
mempunyai struktur paralel pada sistem pegunungan Sunda, sesuai dengan
teori undasinya.
Variasi
komposisi laterit dari magma basal memotong kepulauan Indonesia ke
berbagai busur sesuai dengan klasifikasi Kuno (1966), kedalaman yang
berbeda akan memproduksi magma yang berbeda. Hartheron dan Dickinson
(1969) menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat korelasi antara
peningkatan K2O dalam produk gunungapi yang baru dengan kedalaman zona Benioff. Withford dan Nichols menyimpulkan bahwa kandungan K2O batuan dari gunungapi tunggal di Jawa normalnya memberikan hubungan garis lurus apabila dirajahkan dengan zona Benioff.
Perbedaan
kenampakan geologis, geofisik dan kegunungapian Sumatera dan Jawa
terjadi karena perbedaan arah gerak ke utara dari lempeng
India-Australia, dan perbedaan evolusi penurunan slab. Ini
didukung fakta bawa zona magmatik di Sumatera dan Jawa mempunyai pola
berbeda (Katili, 1973). Gunungapi di busur Jawa dan Banda menunjukkan
dengan jelas efek dari proses ini.
Gunungapi potasik
yang hadir di utara Jawa, utara Flores maupun Sumbawa tidak dijumpai di
Sumatera. Ini dapat diterangkan bahwa penetrasi terdalam dari litosfer
di Jawa dan Flores dapat mencapai 400 dan 700 km. Ketidakadaan gunungapi
di Alor, Wetar dan Romang telah dijelaskan oleh adanya penghentian
subduksi di busur subduksi Timor (Katili, 1974). Jika gunungapi ini
masih berhubungan dengan subduksi Timor, maka perlu ada kesimpulan lain:
seberapa jauh subduksi yang padam mempengaruhi keaktifan gunungaapi
seperti terjadi di Una-una di teluk Gorontalo, Sulawesi Tengah.
Fitc (1970) menunjukkan bahwa walaupun tidak ada bukti dari mekanisme lokal untuk mendukung keberadaan undertusting sepanjang ujung timur busur Sunda, zona Benioff ada di zona ini. Penghentian zona subduksi oleh ketidakadaan undertrusting tidak harus menunjukkan penghentian gerak litosfer di bagian dalam.
Gunungapi
alkali kapur di busur Banda cenderung sejajar dengan palung
Timor-Seram, dan berakhir dengan tidak beraturan di Seram. Zona subduksi
berakhir di utara Buru dan berubah menjadi bagian luar sisi selatan
dari zona sesar Palu Koro. Tidak ada gunungapi aktif yang hadir di
antara pulau Buru dan lengan tenggara Sulawesi sebagai representasi
lingkungan sesar transform.
Di
lengan barat Sulawesi, gunungapi aktif Kenozoikum akhir hadir di ujung
selatan pulau, di teluk Gorontalo sebagai gunungapi Una-una serta di
wilayah Minahasa dan Sangihe. Posisi tektonik dari gunungapi potasik di Sulawesi selatan ini tidak jelas zona Benioff yang terjadi pada penyusupan di Pulau Jawa
Gunungapi
Una-una memproduksi batuan seri alkali menengah, dan tidak ada
hubungannya dengan gunungapi-gunungapi alkali kapur yang terdapat di
Sangihe dan Minahasa (Katili, 1960). Gunungapi berhubungan dengan adanya
zona subduksi yang miring ke arah selatan yang telah patah, seperti
dikemukakan Hamilton (1970). Kandungan potas yang tinggi sesuai dengan
keberadaan zona subduksi itu. Gunungapi-gunungapi aktif alkali kapur
dari kelompok Minahasa-Sangihe dapat berhubungan dengan zona subduksi
yang miring ke arah barat, yang sejajar dengan jalur volkanik ini .
Kenampakan
menarik lain yang dikemukakan oleh van Bemmelan adalah adanya plato
basal di Lampung, Karimunjawa, Miut (Kalimantan Barat) dan Mindai
(Paparan Sunda) yang sangat alkalis (Hutchinson, 1973). Di Sumatera
tidak dijumpai gunungapi potasik dan litosfer tidak mempunyai
kedalaman lebih dari 200 km. Boleh jadi keberadaannya di Kalimantan
Barat, kepulauan paparan Sunda atau di Malaysia tidak berkaitan dengan
zona subduksi yang ada di sebelah selatan, tetapi dihubungkan dengan
zona subduksi yang lain. Hal tersebut juga tidak dijumpai di Selat
Makassar dan Laut Cina. Hutchison (1973) mengemukakan hubungan basal
tersebut ke deep extension faulting sebagai interaksi lempeng-lempeng Eurasia, Samudra India-Australia dan Pasifik.
Adalah
menarik untuk dicatat bahwa basal alkali Karimunjawa dan Sukadana
diposisikan sebagai batuan dasar yang terangkat. Busur Karimunjawa,
menurut Nayoan (1973) merupakan komplek batuan sedimen klastik dengan
ketebalan lebih dari 1.000 m, terdiri dari batupasir kwarsa yang
termetamorfkan berumur Kwarter, yang tertutup batuan basalan. Tinggian
Lampung yang ditutup oleh basal Sukadana yang berasal dari geneis pra
Tersier dan amfibolit yang diintrusi oleh batuan granit berumur Kapur
(Katili, 1973). Pemikiran spekulatif pemunculan batuan basal alkali ini
diinterpretasikan sebagai gunungapi aktif oleh hot spot yang
tidak dapat dihubungkan dengan zona-zona subduksi dan pengangkatan. Jika
asumsi ini benar, maka kita harus menerima kenyataan bahwa dataran
Sunda telah berproses berjuta-juta tahun (Wilson, 1972)
Volkanisma Tersier
Lokasi
geografi kepulauan-kepulauan timur Indonesia sebelum interaksi
Lempeng-lempeng Eurasia, India-Australia dan Pasifik direkontruksikan
berdasarkan pada analisis kinematik kerangka tektonik kepulauan
Indonesia seperti telah didiskusikan paparan terdahulu.
Batuan
volkanik Tersier di lengan barat daya Sulawesi meliputi trakit, batuan
piroklastik, dasit, andesit, lava dan endapan lahar yang sebagian telah
terkonsolidasi. Batuan ini terdapat di Pare-pare dan di sepanjang zona
sesar Palu.
Batuan
volkanik basa menghadirkan bentuk basal dan spilit. Umur batuan yang
tidak diketahui hanya batuan volkanik Donggala di Sulawesi Tengah yang
dianggap sebagai fasies volkanik berumur Eosen Formasi Tinombo.
Batuan granit di bagian selatan Sulawesi mempunyai umur yang berkisar 5 x 106 sampai 8,6 x 106
juta tahun, sekitar Pliosen Awal sampai Miosen Akhir. Batuan beku
gunungapi berumur Tersier Awal di lengan utara Sulawesi telah diselidiki
secara dengan rinci oleh Trail dkk (1974)
Formasi Dolokopa yang berumur Miosen Awal sampai Akhir mengandung andesit yang berlapis dengan graywacke
dan batugamping. Volkanik Bilungala pada Miosen Awal sampai Pliosen di
dekat Gorontalo mengandung andesit, dasit dan riolit. Breksi Wobudu
berumur Miosen sampai Pliosen terdiri dari aglomerat andesit, tufa dan
beberapa dasit serta basal. Gunungapi Pani yang diperkirakan berumur
Pliosen, terdiri dari dasit, riolit, dan andesit yang terdiri dari
batuan gunungapi dengan nama gunungapi Pinogu yang berumur Pliosen Akhir
sampai Plistosen, mengandung andesit, dasit tuf dan aglomerat. Tidak
ada penanggalan radiometrik dilakukan terhadap batuan granit di kawasan
ini, tetapi indikasi hubungan di lapangan menurut Trail dkk (1974)
berkisar antara Pliosen (granodiorit Bumbulan) sampai Miosen (diorit
Bone dan Bolihuto). Hal ini mungkin berhubungan dengan zona subduksi
dari gunungapi Miosen di lengan utara dan lengan timur Sulawesi.
Batuan
volkanik dan granitik berumur Pliosen akhir di Gorontalo boleh jadi
desebabkan oleh subduksi minor yang terletak di barat laut Sulawesi yang
terjadi akibat bergeraknya sistem sesar Sorong ke arah barat.
Volkanisma Pra Tersier
Batuan
volkanik Kabur di Pegunungan Gumai mengandung dua fasies yang berbeda
(Musper, 1937). Seri Saling yang mengandung tufa, batuan breksi volkanik
kasar, aliran lava berkomposisi basalan dan andesitan dan batugamping
terumbu. Seri Lingsing yang berisi formasi monoton dari lapisan tipis
asam dan lempung dengan rijang radiolaria. Batuan volkanik berumur Kapur
Atas mempunyai kisaran umur 169 ± 7 sampai 171 ± 3 juta tahun.
Volkanisme
Perm terjadi di sepanjang Sumatera. Kejadian pada dataran tinggi
Padang, Sumatera Tengah dan Jambi dirincikan dengan baik oleh Klompe dll
(1961). Di Sumatera Tengah batuan volkanik mengandung aliran andesit
horblenda, andesit augit dan tufa dengan interkalasi serpih asam dan
batugamping yang mengandung fosil berumur Perm. Model tektonik lempeng
memerlukan eksistensi granit Perm di Sumatera. Berdasarkan penentuan
radiometri granit Paleozoikum di Sumatera Selatan dan Tengah berumur 276
– 298 juta tahun.
Batuan
volkanik basalan dan andesit yang melimpah dideskripsikan oleh Klompee
(1961) di Kalimantan Barat dan Malaysia Timur. Sebaran batuan volkanik
andesitan dan riolitik yang melimpah merupakan ciri khas semanjung
Malaysia Timur (Hutchinson, 1973)
Kesesuaian
zona subduksi gunungapi Sumatera berumur Perm yang menyusup ke benua
Asia dengan zona Benioff purba yang berasosiasi dengan volkanik Malaysia
– Borneo, yang menyusup ke arah Samudra India. Kejadian ini tidak
sesuai dengan sistem palung busur yang telah dirincikan oleh Katili
(1973) dan diperkuat oleh Hutchinson (1973) Pupilli (1973). Alkali
granit yang melimpah dengan umur yang berbeda di Kalimantan barat nampak
mendukung keberadaan postulat yang menolak adanya zona subduksi ini.
Kejadian
lain menyebutkan bahwa volkanisma Perm di Timor, didiskusikan oleh
Roever (1941). Batuan di sini mengandung basal olivin, traki basal,
traki alkali dan alkali riolit yang lebih tua dari ofiolit Timor, yang
selama ini dikenal sebagai kegiatan volkanik di awal geosinklin.
Kenampakan gologis, komposisi dan umur gunungapi tersebut menunjukkan
bahwa bukan busur volkanik Perm.
Penutup
Zona
penujaman berumur Perm yang menyusup ke timur laut ke arah Benua Asia
yang hadir di Kalimantan Batat menunjukkan salah satu episoda hadirnya
litofser ke kawasan ini. Vulkanisma andesitan dan tubuh granit menyertai
proses subduksi ini. Dalam waktu yang sama subduksi yang berarah barat
daya dipercaya bekerja di timur laut tepi benua. Batuan andesitan,
basalan, granitik terdapat di Malaysia Barat dan Kalimantan Barat
sebagai kawasan volkano-plutonik.
Pada
zaman Kapur zona subduksi bagian barat daya dan barat laut, keduanya
menjadi lebih besar dan mengarah ke Samudra India dan Laut Cina Selatan.
Selama
Tersier pengembangan sistem palung busur di Indonesia mencapai titik
paling tinggi. Pusat pemekaran yang berasal dari Samudra Idia
menghasilkan satu sistem palung busur yang meluas dari ujung barat laut
Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Timor, Tanimbar, Kai, Seram, Buru dan
Buton. Busur Banda pada waktu itu menunjukkan kecenderungan arah
timur-barat seperti di Nias, Mentawai dan selatan Jawa yang memanjang
sejauh 6.000 kilometer. Volkanisme secara intensif dan serempak terjadi
bersamaan sepanjang pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa dan Sunda
Kecil. Batuan granitis ditemukan di Flores, Alor dan Ambon sepanjang
jalur volkano-plutonik Tersier
Pada
waktu yang hampir bersamaan pola subduksi baru berarah utara selatan
terbentuk di timur Kalimantan, dengan pusat pemekaran di Samudra
Pasifik. Kemunculan ini berhubungan pula dengan sistem busur kepulauan
Sulawesi – Filipina, karena arah gerak lempeng Pasifik sejak
Oligosen-Eosen berubah ke dari timur – barat (Ben Abraham dan Uyeda,
1973).
Pada
Miosen Tengah sampai Atas arah zona subduksi Sulawesi Minadanau
bergeser dari utara – selatan lebih ke timur, sehingga membentuk busur
kepulauan Halmahera. Busur ini tidak dapat berkembang lebih jauh.
Subduksi berhenti pada akhir Miosen, dan membentuk busur luar
non-volkanik seperti Mentawai, Nias, Tanimbar, Kei, Buru, Seram dan
Buton.
Peristiwa
paling dramatis di dalam sejarah geologi Indonesia terjadi selama
Pliosen, ketika benua Australia bergerak cepat keutara bergabung dengan
perputaran Papua yang berputar berlawanan arah jarum jam, dan
bersama-sama ke barat membentuk sistem sesar transform Sorong, yang
merubah perkembangan Indonesia Timur.
Busur Banda yang berarah timur-barat dibengkokan ke arah barat
membentur Sulawesi dan Halmahera, sehingga membentuk huruf K, juga
menekan Sulawesi kembali beratus kilometer kembali ke arah benua Asia.
Pada
zaman Plio-Plestosen zone subduksi barat Sumatera dan selatan Jawa
bergeser ke arah laut dari palung Sumatera dan Jawa saat ini. Volkanisme
Akhir Kapur sampai Resen bergerak dengan arah kebalikan dari arah
kemiringan zona Benioff menunjukkan kedangkalan dibanding sebelumnya.
Pergerakan
benua Australia ke arah utara dan pergerakan lempeng Pasifik ke arah
barat daya terus berlanjut, dan diakomodasikan oleh palung Banda dan
sistem sesar transform Sorong, sepanjang Banggai, Sula dan Buton.
Gunungapi
di Indonesia timur dibentuk setelah tumbukan, mengikuti pola yang
relatif sama sejak Tersier, tetapi rusak ketika pola subduksi telah
diganti oleh pergerakan sesar transform. Gunungapi ini terdapat di
Sulawesi utara, yang dibentuk oleh subduksi minor yang mengakomodasi
pergerakan pulau ini. Gunungapi ini juga hadir di Halmahera sebagai
konsekuensi polaritas balik akibat benturan di sebelah barat pulau ini.
Evolusi
tektonik Kepulauan Indonesia menunjukkan bahwa sejak Paleozoikum zona
subduksi sudah menyebar secara sistematis di area yang melebar dari
benua ke arah Lautan India, dan kemudian selama Tersier di arah Lautan
Pasifik. Zona subduksi semakin tua akan mendekati benua dan semakin muda
mendekati lautan.
Busur
volkano-plutonik juga menunjukkan suatu zonasi struktur, tetapi
volkanik dan granit menunjukkan umur yang berbeda walaupun berada pada
jalur yang secara umum tergantung pada tingkat kemiringan zona Benioff.
Zona struktur dan kehadiran gunungapi di Indonesia barat sulit
ditetapkan kecuali sejak Paleozoikum. Di Indonesia barat zona subduksi
belum bergeser sangat jauh ke arah Samudera India, sehingga gunungapi
yang lebih muda menembus jalur orogen yang lebih tua. Di Indonesia timur
migrasi jalur gunungapi terjadi pada jarak beratus-ratus kilometer.
Perbedaan ini dianggap sebagai perilaku menyimpang. Pertumbuhan zona
subduksi di Indonesia barat secara regular dapat berlanjut, tetapi di
bagian timur selama Pliosen terjadi beranekaragam benturan dari Lempeng
India-Australia, Asia dan Pasifik.
Hasil
tumbukan ini menjadi pelengkap zona subduksi dengan polaritas terbalik
seperti yang terjadi di Halmahera dan Sulawesi barat laut. Sintesis ini
mendukung gagasan bahwa Laut Banda merupakan lempeng samudra yang
terperangkap di antara busur yang lebih muda, bukan sebagai diapir yang
terjadi karena mekanisme tarikan seperti dikemukakan oleh Karig
(1971).
Ringkasan dari sumber pokok Geotectonics of Indonesia: a modern view, The Directorate General of Mines, Jakarta, Katili J.A. 1998, hal. 200-224.
0 komentar:
Posting Komentar