Jumat, 14 Oktober 2011

BERKENALAN DENGAN TSUNAMI

Masyarakat Indonesia dalam tahun-tahun belakangan ini menjadi semakin akrab dengan istilah tsunami, terutama pasca peristiwa bencana tsunami Aceh dan Sumatera Utara di akhir tahun 2004. Meski sesungguhnya peristiwa hantaman tsunami tersebut bukanlah yang pertama terjadi di Indonesia, namun dahsyatnya dampak yang ditimbulkan bencana alam tersebut (korban jiwa mencapai lebih dari 250.000 jiwa belum lagi kerugian materil dan psikis yang tak terhitung lagi jumlahnya) telah menorehkan trauma yang begitu mendalam bukan saja bagi masyarakat Aceh dan Sumut yang pada saat itu mengalami secara langsung, namun juga seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya.
Bagaimanapun juga harus diakui, Indonesia yang dikenal memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah ternyata menyimpan potensi bencana alam yang “melimpah” pula. Terkait dengan tsunami, menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, setidaknya ada 21 wilayah rawan terkena bencana tersebut di Indonesia, antara lain: Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung-Banten, Jawa Tengah Bagian Selatan, Jawa Timur Bagian Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak-Yapen, Balikpapan, Sekurau, Palu, Talaud, Kendari.

Apakah Tsunami Itu?



Tsunami adalah serangkaian gelombang atau ombak yang ditimbulkan oleh perpindahan massa air dalam skala yang relatif sangat besar. Tsunami umumnya terjadi di laut atau samudera, di mana gelombang dapat bergerak dalam kecepatan mencapai 500 km/jam bahkan lebih dengan tinggi gelombang yang dapat mencapai hingga puluhan meter.

Istilah tsunami sendiri berasal dari Bahasa Jepang “tsu” yang berarti pelabuhan dan “nami” yang artinya gelombang. Istilah ini diberikan oleh kaum nelayan di Jepang. Ketika pulang melaut seringkali mereka menjumpai keadaan pelabuhan dan area di sekitarnya telah porak-poranda akibat terjangan gelombang laut, padahal mereka sendiri tidak pernah menyadarinya saat sedang berada di tengah laut. Oleh karena itu mereka berasumsi bahwa gelombang besar tersebut hanya terjadi di pelabuhan, sehingga dinamakan “tsunami” atau ombak pelabuhan.

Penyebab Tsunami

Mulanya tsunami diasosiasikan dengan gelombang pasang (tidal waves), padahal meski besar kecilnya dampak tsunami terhadap wilayah di sepanjang garis pantai dipengaruhi oleh ketinggian pasang surut muka air laut, namun mekanisme terjadinya tsunami tidak memiliki kaitan sama sekali dengan peristiwa pasang surutnya air laut. Beberapa ilmuwan sempat pula menamai tsunami dengan istilah “gelombang seismik lautan” (seismic sea waves), akan tetapi istilah tersebut juga dapat dikatakan kurang tepat, mengingat tsunami tidak selalu berkaitan dengan mekanisme seismik atau kegempaan, melainkan dapat pula dihasilkan oleh penyebab yang bersifat non-seismik, seperti tanah longsor (baik di bawah maupun di atas permukaan laut), vulkanisme dan jatuhan meteorit, meski keduanya dapat dikatakan sangat jarang terjadi.
Secara umum, ada 4 (empat) penyebab utama yang dapat mencetuskan gelombang tsunami, di antaranya:

1. Tektonisme bawah laut
2. Erupsi gunungapi bawah laut
3. Tanah longsor di bawah atau di atas permukaan laut
4. Jatuhan material luar angkasa (meteor)


Dari keempat poin di atas, gempa bumi merupakan yang paling sering menyebabkan tsunami. Di mana 90% tsunami yang pernah terjadi di muka bumi ini dipicu oleh aktivitas tektonisme bawah laut ini. Tektonisme bawah laut dapat menghasilkan pergerakan kerak bumi di bawah laut secara tiba-tiba –dapat berupa pengangkatan (uplift) atau penurunan (subsidence) lantai samudera— yang mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi kesetimbangan air yang berada di atasnya. Akibatnya terbentuklah gelombang sebagai akibat dari perpindahan massa air dalam skala yang sangat besar, yang bergerak di bawah pengaruh gravitasi dengan tujuan akhir untuk mencapai kondisi kesetimbangannya kembali.

Untuk tsunami yang dicetuskan oleh tektonisme, sejumlah syarat harus dipenuhi, di antaranya:

1. Pusat gempa (hiposentrum) berada di dasar laut dengan kedalaman kurang dari 60 km.
2. Magnitudo gempa harus melebihi batas minimal sesuai dengan Persamaan Iida, M = 6.42 + 0.01 H, di mana H = kedalaman hiposenter. Dengan demikian paling tidak magnitude gempa harus sedikit di atas 6.42 skala Richter.
3. Deformasi yang mengakibatkan gempa di dasar laut, mekanisme pergerakannya vertikal (dip-slip), seperti patahan naik (thrust fault) atau patahan normal (normal fault).



Gambar 1. Mekanisme pembentukan tsunami oleh tektonisme di bawah muka laut

Letusan gunungapi bawah laut dapat menciptakan gaya yang mengakibatkan pengangkatan kolom air sehingga menghasilkan tsunami. Pada tahun 1883 letusan gunungapi Krakatau di Selat Sunda menciptakan gelombang tsunami yang dahsyat. Mengakibatkan 36.000 korban jiwa, ribuan kapal tenggelam dan beberapa pula kecil hilang.

Longsoran di bawah laut yang biasanya merupakan dampak ikutan dari gempa bumi sebagaimana pula jatuhan material erupsi gunungapi di bawah laut dapat mencetuskan gelombang tsunami akibat terganggunya kesetimbangan posisi air.

Jatuhan material luar angkasa juga dapat menyebabkan tsunami, seperti halnya longsoran tebing di atas permukaan laut. Agak berbeda dengan penyebab lainnya, terbentuknya tsunami dalam hal ini disebabkan oleh tabrakan dari atas permukaan yang mengganggu kesetimbangan air. Sebagai gambaran, film produksi Hollywood yang berjudul “Deep Impact” kurang lebih memperlihatkan mekanisme terjadinya tsunami akibat hantaman asteroid ke dalam samudera.

Mekanisme Tsunami

Kecepatan gelombang tsunami dipengaruhi secara langsung oleh kedalamannya. Semakin dangkal kedalaman air kecepatannya semakin menurun. Namun ketinggian gelombang akan semakin meningkat. Hal itu dimungkinkan, karena aliran energi (energy flux) pada gelombang tsunami, yang bergantung pada tinggi dan kecepatan gelombang, relatif hampir tetap (hanya berkurang sedikit saja). Jadi ketika semakin mendekati daratan, dataran pantai berperan sebagai kompresor energi, yang menekan air ke atas. Akibatnya kecepatan gelombang berkurang hingga 10 kali lipat dari kecepatan awal, namun tinggi gelombang meningkat hingga puluhan kali lipat dari ketinggian awal. Bersamaan dengan itu pula, panjang gelombang bertambah pendek. Karena itulah, seperti yang dialami oleh para nelayan di Jepang, tsunami tidak akan terasa di tengah lautan, namun semakin mendekati daratan ketinggian gelombang semakin besar dan mematikan.

Tsunami umumnya merupakan serangkaian gelombang berkekuatan besar, bukan gelombang tunggal. Rangkaian gelombang tersebut datang secara simultan dengan rentang waktu 5 hingga 90 menit setelah gelombang pertama.

Tanda-Tanda Terjadinya Tsunami

Tsunami tidak terjadi secara tiba-tiba. Biasanya sebelum datang tsunami, fenomena-fenomena tertentu akan berlangsung sebagai pertanda. Rentang waktu dari tanda-tanda tersebut menuju datangnya gelombang tsunami berkisar antara beberapa menit hingga beberapa jam. Belajar dari kasus Aceh dan juga kasus Pangandaran baru-baru ini, tercatat bahwa tsunami datang sekitar 45 menit hingga 1 jam setelah gempa utama terjadi.

Karena itulah, pemahaman terhadap tanda-tanda akan datangnya tsunami mungkin saja dapat menyelamatkan seseorang dari bencana. Beberapa hal yang menandakan akan terjadinya tsunami, antara lain:

1. Gempa bumi yang dirasakan di sekitar pantai,
2. Muka air pantai surut secara drastis dan tiba-tiba, sehingga biasanya ikan-ikan di sekitar pantai akan terjebak di daratan,
3. Suara dentuman keras mungkin terjadi diikuti oleh suara menderu seperti pesawat terbang,
4. Mungkin saja muncul cahaya berwarna kemerahan di sepanjang horizon atau disebut juga dengan aurora. Pancaran cahaya yang hanya berlangsung sesaat ini timbul karena perubahan perilaku Elektromagnetik Bumi akibat getaran gempa.

Karakteristik Tsunami
Perilaku gelombang tsunami sangat berbeda dari ombak laut biasa. Gelombang tsunami bergerak dengan kecepatan tinggi dan dapat merambat lintas-samudra dengan sedikit energi berkurang. Tsunami dapat menerjang wilayah yang berjarak ribuan kilometer dari sumbernya, sehingga mungkin ada selisih waktu beberapa jam antara terciptanya gelombang ini dengan bencana yang ditimbulkannya di pantai. Waktu perambatan gelombang tsunami lebih lama dari waktu yang diperlukan oleh gelombang seismik untuk mencapai tempat yang sama.
Periode tsunami cukup bervariasi, mulai dari 2 menit hingga lebih dari 1 jam. Panjang gelombangnya sangat besar, antara 100-200 km. Bandingkan dengan ombak laut biasa di pantai selancar (surfing) yang mungkin hanya memiliki periode 10 detik dan panjang gelombang 150 meter. Karena itulah pada saat masih di tengah laut, gelombang tsunami hampir tidak nampak dan hanya terasa seperti ayunan air saja.

Perbandingan Gelombang Tsunami dan Ombak Laut Biasa

Parameter

Gelombang Tsunami

Ombak Biasa
Periode gelombang

2 menit — > 1 jam

± 10 detik
Panjang gelombang

100 — 200 km

150 m

Bila lempeng samudra pada sesar bergerak naik (raising), terjadi air pasang di wilayah pantai hingga wilayah tersebut akan mengalami banjir sebelum kemudian gelombang air yang lebih tinggi datang menerjang.


Bila lempeng samudera bergerak naik, wilayah pantai akan mengalami banjir air pasang sebelum datangnya tsunami.
Bila lempeng samudera pada sesar bergerak turun (sinking), kurang lebih pada separuh waktu sebelum gelombang tsunami sampai di pantai, air laut di pantai tersebut surut. Pada pantai yang landai, surutnya air bisa mencapai lebih dari 800 meter menjauhi pantai. Masyarakat yang tidak sadar akan datangnya bahaya mungkin akan tetap tinggal di pantai karena ingin tahu apa yang sedang terjadi. Atau bagi para nelayan mereka justru memanfaatkan momen saat air laut surut tersebut untuk mengumpulkan ikan-ikan yang banyak bertebaran.


Bila lempeng samudera bergerak turun, di wilayah pantai air laut akan surut sebelum datangnya tsunami.
Pada suatu gelombang, bila rasio antara kedalaman air dan panjang gelombang menjadi sangat kecil, gelombang tersebut dinamakan gelombang air-dangkal. Karena gelombang tsunami memiliki panjang gelombang yang sangat besar, gelombang tsunami berperan sebagai gelombang air-dangkal, bahkan di samudera yang dalam.
Gelombang air-dangkal bergerak dengan kecepatan yang setara dengan akar kuadrat hasil perkalian antara percepatan gravitasi (9,8 m/s2) dan kedalaman air laut.


v = velocity (kecepatan)
g = gravitation (9,8 m/s2)
d = depth (kedalaman)

Sebagai contoh, di Samudera Pasifik, di mana kedalaman air rata-rata adalah 4.000 meter, gelombang tsunami merambat dengan kecepatan ± 200 m/s (kira-kira 712 km/jam) dengan hanya sedikit energi yang hilang, bahkan untuk jarak yang jauh. Sementara pada kedalaman 40 meter, kecepatannya mencapai ± 20 m/s (sekitar 71 km/jam), lebih lambat namun tetap sulit dilampaui.
Energi dari gelombang tsunami merupakan fungsi perkalian antara tinggi gelombang dan kecepatannya. Nilai energi ini selalu konstan, yang berarti tinggi gelombang berbanding terbalik dengan kecepatan merambat gelombang. Oleh sebab itu, ketika gelombang mencapai daratan, tingginya meningkat sementara kecepatannya menurun.


Saat memasuki wilayah dangkal, kecepatan gelombang tsunami menurun sedangkan tingginya meningkat, menciptakan gelombang mengerikan yang sangat merusak.

Kedalaman (m)

Kecepatan (mph)

Panjang Gelombang (km)
7000

586

282
4000

443

213
2000

313

151
200

99

48
50

49

23
10

22

10.6

Selagi orang-orang yang berada di tengah laut bahkan tidak menyadari adanya tsunami, gelombang tsunami dapat mencapai ketinggian hingga 30 meter atau lebih ketika mencapai wilayah pantai dan daerah padat. Tsunami dapat menimbulkan kerusakan yang sangat parah di wilayah yang jauh dari sumber pembangkitan gelombang, meskipun peristiwa pembangkitan gelombang itu sendiri mungkin tidak dapat dirasakan tanpa alat bantu.
Tsunami bergerak maju ke satu arah dari sumbernya, sehingga wilayah yang berada di daerah "bayangan" relatif dalam kondisi aman. Namun demikian, gelombang tsunami dapat saja berbelok di sekitar daratan. Gelombang ini juga bisa saja tidak simetris. Gelombang ke satu arah mungkin lebih kuat dibanding gelombang ke arah lainnya, tergantung dari peristiwa alam yang memicunya dan kondisi geografis wilayah sekitarnya.

Yang Harus Dilakukan Bila Terjadi Tsunami

Jika tsunami terjadi tak ada yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa kita selain menghindarinya sebisa mungkin. Beberapa hal yang dapat dilakukan seandainya terjadi tsunami adalah sebagai berikut:
· Jika berada di daratan (sekitar pantai):

* Tsunami umumnya diawali oleh gempa bumi. Bila kita merasakan getaran gempa saat berada di sekitar pantai, segeralah menghindar ke tempat-tempat yang lebih tinggi (misalkan ke atas bukit), Jangan menunggu adanya peringatan, karena akan atau tidak akan terjadinya tsunami kita sama sekali tidak tahu.
* Hindari sungai yang mengarah atau bermuara ke laut pada saat bergerak menuju dataran tinggi.
* Jika dataran tinggi terlalu jauh untuk dicapai, lantai teratas bangunan-bangunan beton yang sangat tinggi dapat pula dijadikan alternatif untuk evakuasi. Meskipun demikian cara ini sangat tidak direkomendasikan, sebab resiko kemungkinan robohnya bangunan cukup besar.
* Jika gelombang pertama telah mereda (surut kembali), jangan bersegera turun ke dataran rendah, karena biasanya akan ada gelombang susulan yang bahkan dapat lebih besar daripada gelombang pertama, karena umumnya tsunami merupakan serangkaian gelombang, bukan gelombang tunggal.

· Jika berada di atas kapal atau perahu (di pelabuhan ataupun di tengah laut):

* Segera bergerak menjauh dari pantai ke arah lautan. Dengan kata lain jangan mendekati pantai, tapi arahkan kapal ke laut.
* Demikian pula jika berada di tengah laut dan mendapat kabar tentang tsunami, jangan mengarahkan kapal ke daratan.

Mitigasi Bencana Tsunami

Tsunami tidak dapat dicegah, namun kita dapat meminimalisasi dampak yang diakibatkannya. Berbagai upaya yang dapat dilakukan, di antaranya:

1. Sebisa mungkin hindari mendirikan bangunan di dekat bibir pantai,
2. Membuat tembok pemecah gelombang, terutama di wilayah padat pemukiman. Resiko dari metode ini adalah jika kekuatan tsunami lebih besar dari kekuatan tembok tersebut, akan mengakibatkan runtuhnya tembok tersebut dan material hancurannya akan memperparah tingkat kerusakan jika terbawa oleh arus.
3. Memanfaatkan hutan bakau atau penanaman pohon-pohon kelapa di wilayah garis pantai yang dapat difungsikan sebagai pemecah gelombang. Keuntungan dari metode ini dibandingkan tembok pemecah gelombang adalah biaya yang lebih murah serta memiliki manfaat sampingan,
4. Jika lokasi dataran tinggi cukup jauh untuk dicapai, sebagai alternatif mungkin dapat dibuat bangunan tempat evakuasi darurat di sekitar pantai. Bangunan tersebut dapat berupa gedung tinggi yang sangat kuat (terhadap benturan tsunami maupun material-material padat yang terbawa arus), atau bisa juga berupa bunker bawah tanah yang kedap air,
5. Memberikan informasi dan pendidikan yang berkaitan dengan bencana tsunami kepada masyarakat luas, utamanya yang tinggal di sekitar wilayah yang rawan akan bencana tersebut.

Kita memang tidak bisa “menjinakkan” tsunami, akan tetapi kita dapat mengenal serta mempelajarinya, sehingga kita mampu mengetahui kapan dia akan datang dan bagaimana cara menyelamatkan diri darinya.

Referensi:
• http://www.wikipedia.org
• http://www.geophys.washington.edu/tsunami/intro.html
• http://rovicky.wordpress.com
• http://merapi.vsi.esdm.go.id/vsi/
• http://www.bmg.go.id

LETUSAN GUNUNG API

 

Belakangan ini peristiwa letusan gunung berapi sering kali terjadi di tanah air. Sebagai wilayah yang banyak memiliki gunung berapi sewajarnya mengetahui bagaimana proses terjadinya letusan tersebut sebagai pemahaman awal untuk selanjutnya dapat meningkatkan awareness terhadap dampak bencana letusan gunung berapi. Dalam beberapa letusan, gumpalan awan besar naik ke atas gunung, dan sungai lava mengalir pada sisi-sisi gunung tersebut. Dalam letusan yang lain, abu merah panas dan bara api menyembur ke luar dari puncak gunung, dan bongkahan batu-batu panas besar terlempar tinggi ke udara. Sebagian kecil letusan memiliki kekuatan yang sangat besar, begitu besar sehingga dapat memecah-belah gunung.



Pada dasarnya, gunung berapi terbentuk dari magma, yaitu batuan cair yang terdalam di dalam bumi. Magma terbentuk akibat panasnya suhu di dalam interior bumi. Pada kedalaman tertentu, suhu panas ini sangat tinggi sehingga mampu melelehkan batu-batuan di dalam bumi. Saat batuan ini meleleh, dihasilkanlah gas yang kemudian bercampur dengan magma. Sebagian besar magma terbentuk pada kedalaman 60 hingga 160 km di bawah permukaan bumi. Sebagian lainnya terbentuk pada kedalaman 24 hingga 48 km.




Magma yang mengandung gas, sedikit demi sedikit naik ke permukaan karena massanya yang lebih ringan dibanding batu-batuan padat di sekelilingnya. Saat magma naik, magma tersebut melelehkan batu-batuan di dekatnya sehingga terbentuklah kabin yang besar pada kedalaman sekitar 3 km dari permukaan. Kabin magma (magma chamber) inilah yang merupakan gudang (reservoir) dari mana letusan material-material vulkanik berasal.


Magma yang mengandung gas dalam kabin magma berada dalam kondisi di bawah tekanan batu-batuan berat yang mengelilinginya. Tekanan ini menyebabkan magma meletus atau melelehkan conduit (saluran) pada bagian batuan yang rapuh atau retak. Magma bergerak keluar melalui saluran ini menuju ke permukaan. Saat magma mendekati permukaan, kandungan gas di dalamnya terlepas. Gas dan magma ini bersama-sama meledak dan membentuk lubang yang disebut lubang utama (central vent). Sebagian besar magma dan material vulkanik lainnya kemudian menyembur keluar melalui lubang ini. Setelah semburan berhenti, kawah (crater) yang menyerupai mangkuk biasanya terbentuk pada bagian puncak gunung berapi. Sementara lubang utama terdapat di dasar kawah tersebut.


Kerak yang menindih mantel hampir seluruhnya terdiri dari oksida yang tidak melebur. Proses vulkanik membawa fragmen batuan ke permukaan dari kedalaman lebih kurang 200 km melalui mantel, hal tersebut ditunjukkan dengan adanya mineral-mineral olivine, piroksen dan garnet dalam peridotit pada bagian atas mantel
Pengetahuan tentang lempeng tektonik merupakan pemecahan awal dari teka-teki fenomena alam termasuk deretan pegunungan, benua, gempa bumi dan gunungapi. Planet bumi mempunyai banyak cairan dan air di permukaan. Kedua faktor tersebut sangat mempengaruhi pembentukan dan komposisi magma serta lokasi dan kejadian gunungapi.
Panas bagian dalam bumi merupakan panas yang dibentuk selama pembentukan bumi sekitar 4,5 milyar tahun lalu, bersamaan dengan panas yang timbul dari unsur radioaktif alami, seperti elemen-elemen isotop K, U dan Th terhadap waktu. Bumi pada saat terbentuk lebih panas, tetapi kemudian mendingin secara berangsur sesuai dengan perkembangan sejarahnya. Pendinginan tersebut terjadi akibat pelepasan panas dan intensitas vulkanisme di permukaan. Perambatan panas dari dalam bumi ke permukaan berupa konveksi, di mana material-material yang terpanaskan pada dasar mantel, kedalaman 2.900 km di bawah muka bumi bergerak menyebar dan menyempit di sekitarnya. Pada bagian atas mantel, sekitar 7-35 km di bawah muka bumi, material-material tersebut mendingin dan menjadi padat, kemudian tenggelam lagi ke dalam aliran konveksi tersebut. Litosfir termasuk juga kerak umumnya mempunyai ketebalan 70-120 km dan terpecah menjadi beberapa fragmen besar yang disebut lempeng tektonik. Lempeng bergerak satu sama lain dan juga menembus ke arah konveksi mantel. Bagian alas litosfir melengser di atas zona lemah bagian atas mantel, yang disebut juga astenosfir. Bagian lemah astenosfir terjadi pada saat atau dekat suhu di mana mulai terjadi pelelehan, konsekuensinya beberapa bagian astenosfir melebur, walaupun sebagian besar masih padat. Kerak benua mempunyai tebal
lebih kurang 35 km, berdensiti rendah dan berumur 1-2 milyar tahun, sedangkan kerak samudera lebih tipis (lebih kurang 7 km), lebih padat dan berumur tidak lebih dari 200 juta tahun. Kerak benua posisinya lebih di atas dari pada kerak samudera karena perbedaan berat jenis, dan keduanya mengapung di atas astenosfir. 
Tingkat isyarat gunung berapi di Indonesia
Status
Makna
Tindakan
AWAS
  • Menandakan gunung berapi yang segera atau sedang meletus atau ada keadaan kritis yang menimbulkan bencana
  • Letusan pembukaan dimulai dengan abu dan asap
  • Letusan berpeluang terjadi dalam waktu 24 jam
  • Wilayah yang terancam bahaya direkomendasikan untuk dikosongkan
  • Koordinasi dilakukan secara harian
  • Piket penuh
SIAGA
  • Menandakan gunung berapi yang sedang bergerak ke arah letusan atau menimbulkan bencana
  • Peningkatan intensif kegiatan seismik
  • Semua data menunjukkan bahwa aktivitas dapat segera berlanjut ke letusan atau menuju pada keadaan yang dapat menimbulkan bencana
  • Jika trend peningkatan berlanjut, letusan dapat terjadi dalam waktu 2 minggu
  • Sosialisasi di wilayah terancam
  • Penyiapan sarana darurat
  • Koordinasi harian
  • Piket penuh
WASPADA
  • Ada aktivitas apapun bentuknya
  • Terdapat kenaikan aktivitas di atas level normal
  • Peningkatan aktivitas seismik dan kejadian vulkanis lainnya
  • Sedikit perubahan aktivitas yang diakibatkan oleh aktivitas magma, tektonik dan hidrotermal
  • Penyuluhan/sosialisasi
  • Penilaian bahaya
  • Pengecekan sarana
  • Pelaksanaan piket terbatas
NORMAL
  • Tidak ada gejala aktivitas tekanan magma
  • Level aktivitas dasar
  • Pengamatan rutin
  • Survei dan penyelidikan

TERJADINYA GUNUNG API


Gunung berapi atau gunung api secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu sistem saluran fluida panas (batuan dalam wujud cair atau lava) yang memanjang dari kedalaman sekitar 10 km di bawah permukaan bumi sampai ke permukaan bumi, termasuk endapan hasil akumulasi material yang dikeluarkan pada saat meletus.

Lebih lanjut, istilah gunung api ini juga dipakai untuk menamai fenomena pembentukan ice volcanoes atau gunung api es dan mud volcanoes atau gunung api lumpur. Gunung api es biasa terjadi di daerah yang mempunyai musim dingin bersalju, sedangkan gunung api lumpur dapat kita lihat di daerah Kuwu, Grobogan, Jawa Tengah yang populer sebagai Bledug Kuwu.

 
Gunung berapi terdapat di seluruh dunia, tetapi lokasi gunung berapi yang paling terkenal adalah gunung berapi yang berada di sepanjang busur Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire). Busur Cincin Api Pasifik merupakan garis bergeseknya antara dua lempengan tektonik.

Gunung berapi terdapat dalam beberapa bentuk sepanjang masa hidupnya. Gunung berapi yang aktif mungkin berubah menjadi separuh aktif, istirahat, sebelum akhirnya menjadi tidak aktif atau mati. Bagaimanapun gunung berapi mampu istirahat dalam waktu 610 tahun sebelum berubah menjadi aktif kembali. Oleh itu, sulit untuk menentukan keadaan sebenarnya dari pada suatu gunung berapi itu, apakah gunung berapi itu berada dalam keadaan istirahat atau telah mati.

Gunung api terbentuk pada empat busur, yaitu busur tengah benua, terbentuk akibat pemekaran kerak benua; busur tepi benua, terbentuk akibat penunjaman kerak samudara ke kerak benua; busur tengah samudera, terjadi akibat pemekaran kerak samudera; dan busur dasar samudera yang terjadi akibat terobosan magma basa pada penipisan kerak samudera.

 
Pada gambar di atas memperlihatkan batas lempeng utama dengan dengan pembentukan busur gunungapi. Pergerakan antar lempeng ini menimbulkan empat busur gunungapi berbeda:
  1. Pemekaran kerak benua, lempeng bergerak saling menjauh sehingga memberikan kesempatan magma bergerak ke permukaan, kemudian membentuk busur gunungapi tengah samudera.
  2. Tumbukan antar kerak, dimana kerak samudera menunjam di bawah kerak benua. Akibat gesekan antar kerak tersebut terjadi peleburan batuan dan lelehan batuan ini bergerak ke permukaan melalui rekahan kemudian membentuk busur gunungapi di tepi benua.
  3. Kerak benua menjauh satu sama lain secara horizontal, sehingga menimbulkan rekahan atau patahan. Patahan atau rekahan tersebut menjadi jalan ke permukaan lelehan batuan atau magma sehingga membentuk busur gunungapi tengah benua atau banjir lava sepanjang rekahan.
  4. Penipisan kerak samudera akibat pergerakan lempeng memberikan kesempatan bagi magma menerobos ke dasar samudera, terobosan magma ini merupakan banjir lava yang membentuk deretan gunungapi perisai. 

Pada gambar di atas terlihat penampang diagram yang memperlihatkan bagaimana gunungapi terbentuk di permukaan melalui kerak benua dan kerak samudera serta mekanisme peleburan batuan yang menghasilkan busur gunungapi, busur gunungapi tengah samudera, busur gunungapi tengah benua dan busur gunungapi dasar samudera

Di Indonesia (Jawa dan Sumatera) pembentukan gunungapi terjadi akibat tumbukan kerak Samudera Hindia dengan kerak Benua Asia. Di Sumatera penunjaman lebih kuat dan dalam sehingga bagian akresi muncul ke permukaan membentuk pulau-pulau, seperti Nias, Mentawai, Enggano, dll.

Struktur gunung api, terdiri atas:
  1. Struktur kawah adalah bentuk morfologi negatif atau depresi akibat kegiatan suatu gunungapi, bentuknya relatif bundar;
  2. Kaldera, bentuk morfologinya seperti kawah tetapi garis tengahnya lebih dari 2 km. Kaldera terdiri atas : kaldera letusan, terjadi akibat letusan besar yang melontarkan sebagian besar tubuhnya; kaldera runtuhan, terjadi karena runtuhnya sebagian tubuh gunungapi akibat pengeluaran material yang sangat banyak dari dapur magma; kaldera resurgent, terjadi akibat runtuhnya sebagian tubuh gunungapi diikuti dengan runtuhnya blok bagian tengah; kaldera erosi, terjadi akibat erosi terus menerus pada dinding kawah sehingga melebar menjadi kaldera;
  3. Rekahan dan graben, retakan-retakan atau patahan pada tubuh gunungapi yang memanjang mencapai puluhan kilometer dan dalamnya ribuan meter. Rekahan paralel yang mengakibatkan amblasnya blok di antara rekahan disebut graben;
  4. Depresi volkano-tektonik, pembentukannya ditandai dengan deretan pegunungan yang berasosiasi dengan pembentukan gunungapi akibat ekspansi volume besar magma asam ke permukaan yang berasal dari kerak bumi. Depresi ini dapat mencapai ukuran puluhan kilometer dengan kedalaman ribuan meter.
Tipe-tipe gunung api berdasarkan bentuknya:
  1. Stratovolcano, tersusun dari batuan hasil letusan dengan tipe letusan berubah-ubah sehingga dapat menghasilkan susunan yang berlapis-lapis dari beberapa jenis batuan, sehingga membentuk suatu kerucut besar (raksasa), terkadang bentuknya tidak beraturan, karena letusan terjadi sudah beberapa ratus kali.
  2. Perisai, tersusun dari batuan aliran lava yang pada saat diendapkan masih cair, sehingga tidak sempat membentuk suatu kerucut yang tinggi (curam), bentuknya akan berlereng landai, dan susunannya terdiri dari batuan yang bersifat basaltik. Contoh bentuk gunung berapi ini terdapat di kepulauan Hawai.
  3. Cinder Cone, merupakan gunung berapi yang abu dan pecahan kecil batuan vulkanik menyebar di sekeliling gunung. Sebagian besar gunung jenis ini membentuk mangkuk di puncaknya. Jarang yang tingginya di atas 500 meter dari tanah di sekitarnya.
  4. Kaldera, gunung berapi jenis ini terbentuk dari ledakan yang sangat kuat yang melempar ujung atas gunung sehingga membentuk cekungan. Gunung Bromo merupakan jenis ini. 


VULKANISME

Istilah vulkanisme berasal dari kata latin vulkanismus nama dari sebuah pulau yang legendaris di Yunani. Tidak ada yang lebih menakjubkan diatas muka bumi ini dibandingkan dengan gejala vulkanisme dan produknya, yang pemunculannya kerap kali menimbulkan kesan-kesan religiuos. Letusannya yang dahsyat dengan semburan bara dan debu yang menjulang tinggi, atau keluar dan mengalirnya bahan pijar dari lubang di permukaan, kemudian bentuk kerucutnya yang sangat mempesona, tidak mengherankan apabila di masa lampau dan mungkin juga sekarang masih ada sekelompok masyarakat yang memuja atau mengkeramatkannya seperti halnya di pegunungan Tengger (Gn.berapi Bromo) di Jawa Timur. 

Vulkanisme dapat didefinisikan sebagai tempat atau lubang di atas muka Bumi di mana dari padanya dikeluarkan bahan atau bebatuan yang pijar atau gas yang berasal dari bagian dalam bumi ke permukaan, yang kemudian produknya akan disusun dan membentuk sebuah kerucut atau gunung.


Adapun sejumlah bahan-bahan yang dikeluarkan melalui lubang, yang kemudian dikenal sebagai pipa kepundan, terdiri dari pecahan-pecahan batuan yang tua yang telah ada sebelumnya yang membentuk tubuh gunung-berapi, maupun bebatuan yang baru sama sekali yang bersumber dari magma di bagian yang dalam dari litosfir yang selanjutnya disemburkan oleh gas yang terbebas. Magma tersebut akan dapat ke luar mencapai permukaan bumi apabila geraknya cukup cepat melalui rekahan atau patahan dalam litosfir sehingga tidak ada waktu baginya untuk mendingin dan membeku. 

Terdapat dua sifat dari magma yang dapat memberikan potensi untuk bertindak demikian, dan itu adalah pertama kadar gas yang ada di dalam magma dan yang kedua adalah kekentalannya. Sebab-sebab terjadinya vulkanisme adalah diawali dengan proses pembentukan magma dalam litosfir akibat peleburan dari batuan yang sudah ada, kemudian magma naik ke permukaan melalui rekahan, patahan dan bukaan lainnya dalam litosfir menuju dan mencapai permukaan bumi.


Wilayah-wilayah sepanjang batas lempeng di mana dua lempeng litosfir saling berinteraksi akan merupakan tempat yang berpotensi untuk terjadinya gejala vulkanisme. Gejala vulkanisme juga dapat terjadi di tempat-tempat di mana astenosfir melalui pola rekahan dalam litosfir naik dengan cepat dan mencapai permukaan. Tempat-tempat seperti itu dapat diamati pada batas lempeng litosfir yang saling memisahkan diri seperti pada punggung tengah samudera, atau pada litosfir yang membentuk lantai samudera. 

Tidak semua gunung-berapi yang sekarang ada di muka Bumi ini, memperlihatkan kegiatannya dengan cara mengeluarkan bahan-bahan dari dalam Bumi. Untuk itu gunungapi dikelompokan menjadi gunung berapi aktif, hampir berhenti dan gunung-berapi yang telah mati. Gunung-berapi yang digolongkan kedalam yang hampir mati, adalah gunung-gunung-berapi yang tidak memperlihatkan kegiatannya saat ini, tetapi diduga bahwa gunungapi itu kemungkinan besar masih akan aktif di masa mendatang. Biasanya gunung-berapi ini memperlihatkan indikasi-indikasi ke arah bangunnya kembali, seperti adanya sumber panas dekat permukaan yang menyebabkan timbulnya sumber dan uap air panas, dll. Gunung berapi yang telah mati atau punah adalah gunung berapi yang telah lama sekali tidak menunjukkan kegiatan dan juga tidak memperlihatkan tanda-tanda ke arah itu.

Erupsi gunungapi

Gunung berapi di samping merupakan gejala geologi yang berupa keluarnya bahan-bahan yang bersumber dari magma, baik itu yang berwujud sebagai gas, lelehan maupun benda padat berupa fragmen-fragmen batuan ke permukaan Bumi, dinamakan erupsi atau erupsi gunung-berapi. Erupsi dapat dikelompokan berdasarkan :

1.    Jenis bahan yang dikeluarkan melalui lubang kepundan, atau lokasi dari tempat keluarnya bahan-bahan dari magma. Berdasarkan jenis bahan yang dikeluarkan, kita mengenal sebutan erupsi efusif apabila bahan yang dikeluarkan hampir seluruhnya terdiri dari lelehan magma yang disebut lava. Sedangkan sebutan erupsi piroklastik, apabila bahan yang dikeluarkan sebagian besar terdiri dari fragmen-fragmen batuan, abu dan gas.

2.     Erupsi juga dapat dikelompokan berdasarkan lokasi atau letak serta bentuk dari tempat keluarnya bahan-bahan magma dari dalam Bumi. Keluarnya bahan-bahan tersebut dapat melalui suatu lubang di permukaan Bumi yang dihubungkan dengan pipa ke dalam magma, atau suatu rekahan yang mencapai tempat berhimpunnya magma. 

Untuk ini dikenali adanya 2 (dua) tipe erupsi, yaitu:

a.    Erupsi sentral, apabila tempat ke luarnya bahan-bahan itu berupa lubang yang yang dihubungkan dengan pipa, atau kepundan, dan berada di bagian tengah dari tubuh gunung-berapi;
b.     Erupsi rekahan, apabila bahan-bahan berasal dari magma dikeluarkan melalui rekahan dalam kerak bumi yang bentuknya memanjang.


Rekahan seperti itu terjadi sebagai akibat dari gejala regangan pada kerak yang sedang memisah diri. Bahan yang dikeluarkan melalui erupsi seperti ini umumnya berupa lelehan pijar dari magma atau lava. Meskipun pada umumnya bentuk erupsi sentral yang terdapat pada gunung-berapi terutama di darat berbentuk lubang yang dihubungkan dengan pipa, namun tidak tertutup kemungkinan juga dapat berupa rekahan. Umumnya lokasi erupsi berlangsung pada bagian tengah puncak gunung-berapi, tetapi kadang-kadang juga terjadi pada bagian lereng. Dan apabila ini yang terjadi, maka gejala tersebut dinamakan “flank” atau “lateral eruption”.

Adapula erupsi gunung-berapi terjadi pada pada bagian kaki gunung-berapi, maka erupsi seperti itu dinamakan erupsi eksentrik atau erupsi parasitik. Erupsi yang berlangsung pada bagian puncak dinamakan juga erupsi terminal, sedangkan yang terjadi pada bagian lereng disebut sub-terminal. Keduanya selalu dianggap sebagai erupsi puncak, di mana yang sub-terminal merupakan pemisahan saja dari erupsi terminal. Erupsi puncak tidak akan menyebabkan penurunan terhadap kedudukan dari dapur magma, sedangkan erupsi eksentrik justru akan menyebabkan peningkatan kegiatan gas dibagian puncaknya.

Gerak dari bahan-bahan piroklastika

Bahan piroklastika yang dikeluarkan saat terjadinya erupsi gunung-berapi, selanjutnya dapat dialirkan dari pusatnya ke wilayah sekitar gunung-berapi dengan media gas yang keluar bersama piroklastik, atau melalui media air meteorik. Dengan bantuan media gas : Awan panas atau “glowing avalance” atau “nu’ee ardente”. Sifat-sifat fisik dan karakteristik dari awan panas ini dipelajari dari erupsi gunungapi Mt.Pele’e di Kepulauan Martinique yang terjadi pada bulan Mei 1902, yang telah menghancurkan kota pantai St.Pierre dan menewaskan hampir 30.000 penduduknya. Karena bentuk awannya yang saat itu sangat menonjol, maka fenomena tersebut diberi nama “awan pijar”, yang sebenarnya adalah terdiri dari fragmen-fragmen pijar yang mengalir dengan kecepatan tinggi melalui lembah sebagaimana halnya aliran lava atau air.

Awan yang terlihat sebenarnya adalah hanya debu yang naik ke udara dari aliran tersebut. Karena itu istilah awan akhir-akhir ini cenderung untuk dirubah menjadi “glowing avalance”. Kecepatan laju awan panas yang menghampiri kota St.Pierre, diperkirakan mencapai 150 km per jam. Di Indonesia gunung-berapi yang juga dilaporkan menyemburkan awan panas adalah G. Merapi di Jawa-Tengah. Di sini awan panas karena warnanya yang putih dan turun mengikuti lereng, dinamakan “wedhus gembel”. Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan setelah kejadian tersebut, yang juga melibatkan gunung-gunungapi lainnya yang memperlihatkan erupsi seperti itu. Letusan dari gunung-berapi Soufriere yang terletak berdekatan dengan Pulau St.Vincent, juga memperlihatkan fenomena yang sama seperti di Mt.Pele’e. Kemudian Neumann van Padang (1933) juga melaporkan kejadian yang sama pada letusan Gunung Merapi di P. Jawa tahun 1930.

Berdasarkan penelitian terhadap bahan yang diendapkan oleh awan panas, ternyata sebagian besar fragmen-fragmennya ternyata terdiri dari batuan yang baru membeku dari magma. Hanya sedikit sekali, kurang dari 5% yang diperkirakan berasal dari batuan yang telah ada dari dinding atau pipa kepundannya. Dari pengamatan tersebut kemudian disimpulkan bahwa pada saat terjadi erupsi, sejumlah gas yang berada dalam magma membebaskan diri dan mengembang menyelimuti setiap bagian dari fragmen padat dan sebagain lagi mungkin magma yang masih cair dan pijar, sehingga dapat bergerak dengan kecepatan tinggi dan dengan suhu yang tinggi pula. Agak berbeda dengan yang digambarkan oleh NEUMANN van PADANG mengenai hasil letusan awan panas di Gunung-berapi Merapi di Jawa-Tengah pada tahun 1930. Menurutnya, sebahagian besar fragmen yang ada di dalam awan panas adalah berasal dari batuan tua, dan hanya sedikit sekali merupakan yang merupakan lava yang baru. Demikian pula yang terjadi pada letusan gunung-berapi Stromboli pada tahun 1930, di mana seluruh massa awan panas adalah bebatuan pijar berasal dari dinding kepundan. Didasarkan kepada cara-cara mekanisma keluarnya awan panas dari kepundan, dapat dibedakan adanya tiga tipe, yaitu : (a) Tipe Pele’e, (b) Tipe Soufriere, dan (c) Tipe Merapi

a.      Tipe Pele’e:
LACROAIX (orang yang memberi nama “nue ardente”), melihat adanya bukti bahwa semburan awal dari bahan dari awan panas itu arahnya horisontal yang juga memberikan tekanan terhadap awan panas yang terjadi. Selanjutnya dari laporan tertulis yang dibuat oleh F.A.PERRET (1930) pada letusan Gunung-berapi Pe’lee yang terjadi pada tahun 1930 meskipun awan panasnya lebih kecil dari letusan tahun 1902, dia menemukan bukti-bukti baru yang dapat mengungkapkan bagaimana mekanisma gerak awan panas yang dihasilkan gunung-berapi tersebut. Dia yakin bahwa pembentukannya diawali oleh suatu letusan yang menyemburkan bahannya melalui suatu sudut yang kecil. Menurut pengamatannya, “nue ardente” yang terjadi adalah letusan dari lava itu sendiri yang terarah. Sumber lava yang terkumpul dibawah kubah secara-diam-diam akan menghimpun energi. Apabila kemudian meletus, maka ia akan menyembur melalui bagian yang lemah dibawah kubah dan mengarah horisontal menyapu lembah, bukit, menuruni lereng dan menyebar seperti kipas.

b.     Tipe Soufriere :
Letusan yang terjadi pada gunung-berapi Soufriere yang melanda St.Vincent sifatnya agak berbeda dengan yang terlihat di gunung-berapi Pe’lee. Seperti halnya di St.Pierre, awan panas juga keluar dari lubang kepundan dan menuju ke lembah-lembah disekitarnya. Sebelum terjdi letusan, pada bagian puncak gunug-berapi ini terdapat kepundan dimana dasarnya ditutupi oleh danau yang dalamnya lebih dari 150 meter. Lereng gunug-berapi ini agak landai dengan rata-rata sudut 15 . Sifat letusannya agak berbeda dengan yang teramati di gunung-berapi Pe’lee. Suhunya lebih rendah dan letusannya juga agak lemah Kemudian awan yang disemburkan menuju kesegala arah (tidak pada arah tertentu seperti di St.Pierre), dan bahkan keatas kaldera. Bahan yang dibawanya sebhagian besar berukuran pasir dengan sedikit sekali yang berukuran lebih besar apabila dibandingkan dengan gunung-berapi Pe’lee. Disimpulkan bahwa bahan-bahan panas disemburkan vertikal keatas dan awan panas yang jatuh kemudian menuruni lereng gunung-berapi.

c.       Tipe Merapi
Para pakar gunung-berapi di Pulau Jawa, berdasarkan pengamatan-2 yang dilakukan terhadap pola letusan gunung Merapi, ternyata telah menunjukkan adanya jenis mekanisma pembentukan awan panas lainnya selain dari yang dua di atas. Kubah pada kepundannya terus tumbuh dan lerengnya menjadi tidak mantap dan mulai runtuh serta menghasilkan guguran-guguran fragmen pijar melalui lereng gunung-berapi tersebut. Gunung-gunung-berapi yang mempunyai ciri-ciri yang sama seperti di Merapi, antara lain yang terjadi pada gunung-berapi Fuego di Guetamala, dan gunung-berapi Izalco di El Savador. Awan panas pada dasarnya sedikit sekali atau hampir tidak mengendapkan bahannya di bagian lereng gunung-api tersebut. Namun mereka mempunyai daya pengikisan yang kuat dan mampu menoreh lembah-lembah. Pada dinding lembah akan dapat dijumpai goresan-goresan sebagai akibat dari torehannya. Awan panas umumnya akan mengendapkan bahan-bahannya di bagian yang landai dibawah setelah kehilangan energinya. Endapannya terdiri dari pencampuran yang sangat lekat berupa bahan berukuran halus (debu) dan bongkah-bongkah menyudut dengan garis tengah beberapa meter serta kadang juga terdapat batu-apung di dalamnya.

Tipe-tipe erupsi gunung berapi

1.    Erupsi efusif: Erupsi efusif berjalan tenang, tidak disertai letusan-letusan yang dahsyat dan melibatkan lava yang bersifat basaltis. Umumnya tidak menghasilkan piroklastik dalam jumlah besar.

2.    Erupsi sentral: Melalui satu lubang utama yang terletak ditengah, lava basaltis akan mengalir kesegala arah dalam jumlah yang hampir sama. Erupsi-erupsi yang terjadi berulang kali kemudian akan membangun sebuah gunungapi yang berbentuk perisai. Gunung-berapi yang terjadi dengan cara seperti ini disebut gunung-berapi perisai. Gunung-berapi ini mempuyai lereng yang sangat landai karena lava basaltis yang encer yang mampu mengalir dalam jarak yang jauh dari sumbernya, sehingga tidak mampu membangun kerucut yang tinggi. Contoh klasik gunungapi tipe ini dan yang paling banyak dipelajari adalah gunung-berapi yang membentuk Pulau Hawaii yang terletak di Samudera Pasifik. Pulau Hawaii sendiri terdiri dari 5 buah gunung-berapi perisai, dimana yang terbesar adalah Mauna Kea dan Mauna Loa dengan ketinggian puncaknya masing-masing 4205 dan 4170 meter. Dasarnya terletak pada dasar samudera yang dalamnya 5000 meter, sehingga dengan demikian apabila diukur dari kakinya, maka ketinggiannya mencapai  9000 meter. Dan ini adalah lebih tinggi dari gunung tertinggi di darat yaitu Mt.Everest di Pegunungan Himalaya. Mauna Loa dengan ketinggian seperti itu merupakan tumpukan lava dari berulang kali erupsi sejak 750.000 tahun yang lalu.

3.     Erupsi rekahan: Tipe erupsi ini banyak dijumpai di wilayah lantai samudera. Rekahan terjadi sebagai akibat dari proses pemisahan pada litosfir, atau interaksi divergen lempeng litosfir, dengan ukuran panjang hingga beberapa puluh kilometer. Contoh klasik erupsi rekahan seperti ini dijumpai di Iceland yang terletak tepat diatas punggung-tengah-Samudera Atlantik. Lava yang keluar dari rekahan seperti ini bersifat sangat encer, akan menyebar ke-kedua arah dari rekahan dengan laju kecepatan hampir 20 kiliometer/jam. Urut-urutan ke luarnya lava akan membentuk suatu dataran yang kadang tinggi dan disebut dataran basalt (plateau basalt) , atau “flood basalt”.



Sepanjang sejarah geologi barangkali erupsi rekahan yang berlangsung secara berulang-ulang dan menghasilkan aliran basalt dalam jumlah yang sangat banyak mungkin hanya terjadi di tempat-tempat tertentu di muka Bumi. Sebagai contoh adalah “Dataran Deccan” yang terdapat di bagian barat laut Jazirah India. Kemudian di wilayah dataran Columbia di negara Bagian Washington dan Oregon hingga ke Idaho. Dalam ukuran yang agak kecil dataran basalt juga dijumpai di selatan Vietnam, diutara Columbia Inggris dan Patagonia. Demikian pula dalam ukuran yang lebih kecil dan berumur lebih muda adalah di Afrika Selatan, Siberia Tengah, Abyssinia, beberapa tempat di Amerika Utara dan Selatan. Di Amerika Keweenawan Basalt, mengandung endapan tembaga dalam jumlah besar. Erupsi rekahan yang pernah tercatat dalam sejarah sekarang adalah yang terjadi di wilayah Iceland, yang terletak tepat diatas punggung-tengah Samudra Atlantik. Erupsi terjadi pada tanggal 8 Juni 1783 melalui rekahan sepanjang 32 kilometer.

4.      Erupsi di bawah permukaan laut
Erupsi efusif yang terjadi 300-1000 meter di bawah permukaan laut atau disebut juga “submarine”, umumnya berlangsung tenang. Lava yang dikeluarkan akan membeku dan membentuk lava bantal. Tipe erupsi ini sedikit sekali mendapat perhatian karena terjadinya jauh di bawah pengamatan. Lava yang membeku membentuk akan membentuk lava “bantal” (pillow lava). Bentuknya melonjong dengan ukuran kurang dari 1.5 meter dan penampang ±30 cm, dengan dasar yang mendatar dan bagian atasnya membulat.

5.      Erupsi piroklastik atau erupsi eksplosif
Erupsi piroklastik terjadi pada magma yang kental, mengandung banyak gas dan mempunyai sifat letusan berkisar antara sedang dan sangat dahsyat. Erupsi explosif umumnya banyak menghasilkan piroklastika dan sedikit lava. Karena sifat magmanya yang kental maka lava yang mengalir tidak akan dapat menempuh jarak yang jauh dari sumbernya, lubang kepundan.

GARIS KONTUR, SIFAT dan INTERPOLASINYA

Pengertian garis kontur

Garis kontur adalah garis khayal di lapangan yang menghubungkan titik dengan ketinggian yang sama atau garis kontur adalah garis kontinyu di atas peta yang memperlihatkan titik-titik di atas peta dengan ketinggian yang sama. Nama lain garis kontur adalah garis tranches, garis tinggi dan garis tinggi horizontal. Garis kontur + 25 m, artinya garis kontur ini menghubungkan titik-titik yang mempunyai ketinggian sama + 25 m terhadap tinggi tertentu. Garis kontur disajikan di atas peta untuk memperlihatkan naik turunnya keadaan permukaan tanah. Aplikasi lebih lanjut dari garis kontur adalah untuk memberikan informasi slope (kemiringan tanah rata-rata), irisan profil memanjang atau melintang permukaan tanah terhadap jalur proyek (bangunan) dan perhitungan galian serta timbunan (cut and fill) permukaan tanah asli terhadap ketinggian vertikal garis atau bangunan. Garis kontur dapat dibentuk dengan membuat proyeksi tegak garis-garis perpotongan bidang mendatar dengan permukaan bumi ke bidang mendatar peta. Karena peta umumnya dibuat dengan skala tertentu, maka untuk garis kontur ini juga akan mengalami pengecilan sesuai skala peta.
Garis-garis kontur merupakan cara yang banyak dilakukan untuk melukiskan bentuk permukaan tanah dan ketinggian pada peta, karena memberikan ketelitian yang lebih baik. Cara lain untuk melukiskan bentuk permukaan tanah yaitu dengan cara hachures dan shading. Bentuk garis kontur dalam 3 dimensi

Sifat garis kontur

Garis-garis kontur merupakan cara yang banyak dilakukan untuk melukiskan bentuk permukaan tanah dan ketinggian pada peta, karena memberikan ketelitian yang lebih baik. Cara lain untuk melukiskan bentuk permukaan tanah yaitu dengan cara hachures dan shading.
Bentuk garis kontur dalam 3 dimensi Gambar 344. Penggambaran kontur Garis kontur memiliki sifat sebagai berikut :
a. Berbentuk kurva tertutup.
b. Tidak bercabang.
c. Tidak berpotongan.
d. Menjorok ke arah hulu jika melewati sungai.
e. Menjorok ke arah jalan menurun jika melewati permukaan jalan.
f. Tidak tergambar jika melewati bangunan.
g. Garis kontur yang rapat menunjukan keadaan permukaan tanah yang terjal.
h. Garis kontur yang jarang menunjukan keadaan permukaan yang landai
i. Penyajian interval garis kontur tergantung pada skala peta yang disajikan, jika datar maka interval garis kontur tergantung pada skala peta yang disajikan, jika datar maka interval garis kontur adalah 1/1000 dikalikan dengan nilai skala peta , jika berbukit maka interval garis kontur adalah 1/500 dikalikan dengan nilai skala peta dan jika bergunung maka interval garis kontur adalah 1/200 dikalikan dengan nilai skala peta.
j. Penyajian indeks garis kontur pada daerah datar adalah setiap selisih 3 garis kontur, pada daerah berbukit setiap selisih 4 garis kontur sedangkan pada daerah bergunung setiap selisih 5 garis kontur.
k. Satu garis kontur mewakili satu ketinggian tertentu..
l. Garis kontur berharga lebih rendah mengelilingi garis kontur yang lebih tinggi.
m. Rangkaian garis kontur yang berbentuk huruf "U" menandakan punggungan gunung.
n. Rangkaian garis kontur yang berbentuk huruf "V" menandakan suatu lembah/jurang

Interval kontur dan indeks kontur

Gambar 347. Garis kontur pada curah dan punggung bukit.
Gambar 348. Garis kontur pada bukit dan cekung Interval kontur adalah jarak tegak antara dua garis kontur yang berdekatan dan merupakan jarak antara dua bidang mendatar yang berdekatan. Pada suatu peta tofografi interval kontur dibuat sama, berbanding terbalik dengan skala peta. Semakin besar skala peta, jadi semakin banyak informasi yang tersajikan, interval kontur semakin kecil. Indeks kontur adalah garis kontur yang penyajiannya ditonjolkan setiap kelipatan interval kontur tertentu. 

Kemiringan tanah dan kontur gradient

Kemiringan tanah adalah sudut miring antara dua titik.

Kegunaan garis kontur

Selain menunjukan bentuk ketinggian permukaan tanah, garis kontur juga dapat digunakan untuk:
a. Menentukan profil tanah (profil memanjang, longitudinal sections) antara dua tempat. (Gambar 350)
b. Menghitung luas daerah genangan dan volume suatu bendungan
c. Menentukan route/trace suatu jalan atau saluran yang mempunyai kemiringan tertentu (gambar 352)
d. Menentukan kemungkinan dua titik di lahan sama tinggi dan saling terlihat (gambar 353.)
Penentuan dan pengukuran titik detail untuk pembuatan garis kontur
  • Semakin rapat titik detil yang diamati, maka semakin teliti informasi yang tersajikan dalam peta.
  •  Dalam batas ketelitian teknis tertentu, kerapatan titik detil ditentukan oleh skala peta dan ketelitian (interval) kontur yang diinginkan.
  •  Pengukuran titik-titik detail untuk penarikan garis kontur suatu peta dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
a. Pengukuran tidak langsung
Titik-titik detail yang tidak harus sama tinggi, dipilih mengikuti pola tertentu yaitu: pola kotak-kotak (spot level) dan profil (grid) dan pola radial. Dengan pola-pola tersebut garis kontur dapat dibuat dengan cara interpolasi dan pengukuran titik-titik detailnya dapat dilakukan dengan cara tachymetry pada semua medan dan dapat pula menggunakan sipat datar memanjang ataupun sipat datar profil pada daerah yang relatif datar. Pola radial digunakan untuk pemetaan topografi pada daerah yang luas dan permukaan tanahnya tidak beraturan.
b. Pengukuran langsung
Titik detail dicari yang mempunyai ketinggian yang sama dan ditentukan posisinya dalam peta dan diukur pada ketinggian tertentu. cara pengukurannya bisa menggunakan cara tachymetry, atau kombinasi antara sipat datar memanjang dan pengukuran polygon.
Cara pengukuran langsung lebih sulit dibanding dengan cara tidak langsung, namun ada jenis kebutuhan tertentu yang harus menggunakan cara pengukuran kontur cara langsung, misalnya pengukuran dan pemasanngan tanda batas daerah genangan.
Interpolasi garis kontur

Titik detail dicari yang mempunyai ketinggian yang sama dan ditentukan posisinya dalam peta dan diukur pada ketinggian tertentu. cara pengukurannya bisa menggunakan cara tachymetry, atau kombinasi antara sipat datar memanjang dan pengukuran polygon. Cara pengukuran langsung lebih sulit dibanding dengan cara tidak langsung, namun ada jenis kebutuhan tertentu yang harus menggunakan cara pengukuran kontur cara langsung, misalnya pengukuran dan pemasanngan tanda batas daerah genangan.
Penarikan garis kontur diperoleh dengan cara perhitungan interpolasi, pada pengukuran garis kontur cara langsung, garis-garis kontur merupakan garis penghubung titik-titik yang diamati dengan ketinggian yang sama, sedangkan pada pengukuran garis kontur cara tidak langsung umumnya titik-titik detail itu pada titik sembarang tidak sama.
Bila titik-titik detail yang diperoleh belum mewujudkan titik-titik dengan ketinggian yang sama, posisi titik dengan ketinggian tertentu dicari, berada diantara 2 titik tinggi tersebut dan diperoleh dengan prinsip perhitungan 2 buah segitiga sebangun. Data yang harus dimiliki untuk melakukan interpolasi garis kontur adalah jarak antara 2 titik tinggi di atas peta, tinggi definitif kedua titik tinggi dan titik garis kontur yang akan ditarik. Hasil perhitungan interpolasi ini adalah posisi titik garis kontur yang melewati garis hubung antara 2 titik tinggi.
Posisi ini berupa jarak garis kontur terhadap posisi titik pertama atau kedua. Titik hasil interpolasi tersebut kemudian kita hubungkan untuk membentuk garis kontur yang kita inginkan. maka perlu dilakukan interpolasi linear untuk mendapatkan titiktitik yang sama tinggi. Interpolasi linear bisa dilakukan dengan cara : taksiran, hitungan dan grafis.
a. Cara taksiran (visual)
Titik-titik dengan ketinggian yang sama, sedangkan pada pengukuran dan
b. Cara hitungan (Numeris)
Cara ini pada dasarnya juga menggunakan dua titik yang diketahui posisi dan ketinggiannya, hitungan interpolasinya dikerjakan secara numeris (eksak) menggunakan perbandingan linear.
c. Cara grafis
Cara grafis dilakukan dengan bantuan garisgaris sejajar yang dibuat pada kertas transparan (kalkir atau kodatrace). Garisgaris sejajar dibuat dengan interval yang  sama disesuaikan dengan tinggi garis kontur yang akan dicari.

Perhitungan garis kontur

Garis-garis kontur pada peta topografi dapat digunakan untuk menghitung volume, baik volume bahan galian (gunung kapur, bukit, dan lain-lain).
Luas yang dikelilingi oleh masing-masing garis kontur diukur luasnya dengan planimeter dengan interval h. Volume total V dapat dihitung.

Prinsip dasar penentuan volume

Dalam pengerjaan teknik sipil, antara lain diperlukan perhitungan volume tanah, baik untuk pekerjaan galian maupun pekerjaan timbunan. Dibawah ini secara singkat diuraikan prinsip dasar yang digunakan untuk bentuk-bentuk tanah yang sederhana. Pada dasarnya volume tanah dihitung dengan cara menjumlahkan volume setiap bagian yang dibatasi oleh dua bidang. Pada gambar bidang dimaksud merupakan bidang mendatar. Banyak metode yang dapat digunakan untuk menghitung volume. Disini hanya akan diberikan metode menggunakan rumus prisma dan rumus piramida.
Prisma adalah suatu benda yang dibatasi oleh dua bidang sejajar pada bagian-bagian atas dan bawahnya serta dibatasi oleh beberapa bidang datar disekelilingnya.
Didalam peta topografi, garis-garis batas bidang datar A0, Am dan A1 ditunjukan oleh garis-garis kontur sedangkan h merupakan interval konturnya. Jadi apabila h dibuat kecil, garis kontur ditarik dari data-data ketinggian tanah yang cukup rapat serta pengukuran luas bidang-bidang yang dibatasi oleh garis kontur diukur hingga v mendekati volume sebenarnya.

Perubahan letak garis kontur di tepi pantai

Cara perhitungan tersebut di atas sedang digunakan oleh GSI (Geography Survey Institute Jepang, di Thailand) untuk ukuran yang sangat kasar. Tetapi, kalau dilihat secara detail, ada beberapa masalah perhitungan, seperti :
a. Di daerah yang akan hilang akibat kenaikan muka air laut sebesar T meter, kehilangan terhitung sebagai jumlah nilai yang sekarang berada.
kehilangannya bukan hanya di daerah antara batas pantai dan garis kontur 1m sekarang, tetapi antara batas pantai sekarang dan garis kontur 1+T meter (contoh di Makassar 1.64 m).
b. Di daerah yang akan lebih sering terkena banjir dari pada kondisi sekarang, kehilangan bisa diukur berdasarkan data yang terdapat melalui penyelidikan lapangan mengenai kehilangan akibat pasang laut dan banjir.
Jika tinggi tanah yang sekarang kena banjir berada di antara batas pantai dan tinggi B m, maka daerah yang akan kena banjir terletak di daerah antara garis kontur 1+T m dan garis kontur 1 +T+B m sekarang. Di daerah sini, kehilangan akan terjadi secara sebagian dari nilai total, yang dihitung terkait tinggi tanah setempat.

Bentuk-bentuk lembah dan pegunungan dalam garis kontur

Jalan menuju puncak umumnya berada di atas punggung (lihat garis titik-titik sedangkan disisinya terdapat lembah umumnya berisi sungai (lihat garis gelap).
Plateau Daerah dataran tinggi yang luas Col Daerah rendah antara dua buah ketinggian. Saddle Hampir sama dengan col, tetapi daerah rendahnya luas dan ketinggian yang mengapit tidak terlalu tinggi.
Pass
Celah memanjang yang membelah suatu daerah ketinggian.
Cara menentukan posisi, cross bearing dan metode  penggambaran

1. Hitung deviasi pada peta:
A = B + ( C x D )
Keterangan :
A = deklinasi magnetis pada saat tertentu
B = deklinasi pada tahun pembuatan peta
C = selisih tahun pembuatan.
D = variasi magnetis.
Contoh:
Diketahui bahwa:
- Deklinasi magnetis tahun 1943 (pada saat peta dibuat) adalah: 0° 30'(=B).
- Variasi magnet pertahun: 2'(=D) Pertanyaan:
Berapa deviasi bila pada peta tersebut digunakan pada tahun 1988 (=A) Perhitungannya:
A = B + (CxD)
= 0° 30' + {(88-43)x 2'}
= 0° 30' + 90'
=120'
=2ยบ0'
2. Mengukur sudut
a. Mengukur dari peta : Sudut peta – deviasi (jika deviasi ke Timur) = sudut Sudut peta + deviasi kompas.
(jika deviasi ke Barat)=sudut kompas
b. Mengukur dari kompas: deviasi timur sudut kompas + deviasi = sudut peta.
Deviasi Barat sudut kompas - sudut = sudut peta.
c. Setelah mengukur utara kompas, sesuaikan garis bujur dengan utara kompas kurang lebih deviasi.
4. Membuat cross bearing
1. Hitung sudut dari dua kenampakan alam atau lebih yang dapat kita kenali di alam dan di peta.
2. Buat garis sudut dengan menghitung deviasi sehingga menjadi sudut peta pada kertas transparan
3. Letakkan di atas peta sesuai dengan kedudukannya.
4. Tumpuklah.
5. Merencanakan rute
1. Pilihlah jalur perjalanan yang mudah denganmemperhatikan sistem kontur.
2. Bayangkan kemiringan lereng dengan memperhatikan kerapatan kontur (makin rapatmakin terjal).
3. Hitung jarak datar (perhatikan kemiringan lereng).
4. Hitung waktu tempuh dengan prinsip :
- jalan datar 1 jam untuk kemiringan lebih 4 km
- kemiringan 1 jam tiap kenaikkan 100m
Metode penggambaran:
1. Tarik garis transis yang dikehendaki diatas peta, bisa berupa garis lurus maupun mengikuti rute perjalanan.
2. Beri tanda (huruf atau angka) pada titik awal dan akhir.
3. Buat grafik pada milimeter blok. untuk sumbu x dipakai sekala horizontal dan sumbu y sekala vertikal.
4. Ukur pada peta jarak sebenarnya (jarak pada peta x angka penyebut skala peta) dan ketinggian (beda tinggi) pada jarak yang diukur tadi.
5. Pindahkan setiap angka beda tinggi dan jarak sebenarnya tadi sebanyakbanyaknya pada grafik.
6. Hubungkan setiap titik pada grafik (lihat gambar).

Pengenalan surver

Surfer adalah salah satu perangkat lunak yang digunakan untuk pembuatan peta kontur dan pemodelan tiga dimensi yang berdasarkan pada grid. Perangkat lunak ini melakukan plotting data tabular XYZ tak beraturan menjadi lembar titik-titik segi empat (grid) yang beraturan. Grid adalah serangkaian garis vertikal dan horisontal yang dalam Surfer berbentuk segi empat dan digunakan sebagai dasar pembentuk kontur dan surface tiga dimensi. Garis vertikal dan horisontal ini memiliki titik-titik perpotongan. Pada titik perpotongan ini disimpan nilai Z yang berupa titik ketinggian atau kedalaman. Gridding merupakan proses pembentukan rangkaian nilai Z yang teratur dari sebuah data XYZ. Hasil dari proses gridding ini adalah file grid yang tersimpan pada file .grd.
1. Sistem operasi dan perangkat keras
Surfer tidak mensyaratkan perangkat keras ataupun sistem operasi yang tinggi. Oleh karena itu surfer relatif mudah dalam aplikasinya. Surfer bekerja pada sistem operasi Windows 9x dan Windows NT.
Berikut adalah spesifikasi minimal untuk aplikasi Surfer:
  • Tersedia ruang untuk program minimal 4 MB.
  •  Menggunakan sistem operasi Windows 9.x atau Windows NT.
  •  RAM minimal 4 MB.]
  • Monitor VGA atau SVGA.
2. Pemasangan program surfer (instal)
  •  Masukkan master program Surfer pada CD ROM atau media lain.
  •  Buka melalui eksplorer dan klik dobel pada Setup.
  •  Surfer menanyakan lokasi pemasangan. Jawab drive yang diinginkan. Jawab pertanyaan selanjutnya dengan Yes.
3. Lembar Kerja Surfer
Lembar kerja Surfer terdiri dari tiga bagian, yaitu:
  •  Surface plot,
  •  Worksheet,
  •  Editor.
3.1 Surface plot
Surface plot adalah lembar kerja yang digunakan untuk membuat peta atau file grid. Pada saat awal dibuka, lembar kerja ini berada pada kondisi yang masih kosong. Pada lembar plot ini peta dibentuk dan diolah untuk selanjutnya disajikan. Lembar plot digunakan untuk mengolah dan membentuk peta dalam dua dimensional, seperti peta kontur, dan peta tiga dimensional seperti bentukan muka tiga dimensi.
Lembar plot ini menyerupai lembar layout di mana operator melakukan pengaturan ukuran, teks, posisi obyek, garis, dan berbagai properti lain. Pada lembar ini pula diatur ukuran kertas kerja yang nanti akan digunakan sebagai media pencetakan peta.
3.2 Worksheet
Worksheet merupakan lembar kerja yang digunakan untuk melakukan input data XYZ. Data XYZ adalah modal utama dalam pembuatan peta pada surfer. Dari data XYZ ini dibentuk file grid yang selanjutnya diinterpolasikan menjadi peta-peta kontur atau peta tiga dimensi. Lembar worksheet memiliki antarmuka yang hampir mirip dengan lembar kerja MS Excel. Worksheet pada Surfer terdiri dari sel-sel yang merupakan perpotongan baris dan kolom. Data yang dimasukkan dari worksheet ini akan disimpan dalam file .dat.
3.3 Editor
Jendela editor adalah tempat yang digunakan untuk membuat atau mengolah file teks ASCII. Teks yang dibuat dalam jendela editor dapat dikopi dan ditempel dalam jendela plot. Kemampuan ini memungkinkan penggunaan sebuah kelompok teks yang sama untuk dipasangkan pada berbagai peta.
Jendela editor juga digunakan untuk menangkap hasil perhitungan volume. Sekelompok teks hasil perhitungan volume file grid akan ditampilkan dalam sebuah jendela editor. Jendela tersebut dapat disimpan menjadi sebuah file ASCII dengan ekstensi .txt.
4. GS Scripter
GS Scripter adalah makro yang dapat digunakan untuk membuat sistem otomasi dalam surfer. Dengan menggunakan GS Scripter ini tugas-tugas yang dilakukan secara manual dapat
diringkas menjadi sebuah makro. Makro dari GS Scripter ini mirip dengan interpreter bahasa BASIC. Makro disimpan dalam ekstensi .bas.
5. Simbolisasi peta
Simbolisasi digunakan untuk memberikan keterangan pada peta yang dibentuk pada lembar plot. Simbolisasi yang digunakan berupa simbol point, garis, ataupun area, serta teks. Simbolisasi yang ada pada peta ini memungkinkan peta yang dihasilkan surfer dapat dengan mudah dibaca dan lebih komunikatif.
6. Editing peta kontur
Editing peta kontur dimaksudkan untuk mendapatkan bentuk peta kontur yang sesuai dengan syarat-syarat pemetaan tertentu ataupun sesuai dengan keinginan pembuat peta. Beberapa hal yang berkaitan dengan hal ini misalnya adalah penetapan nilai kontur interval (Interval Contour), labelling garis indeks, kerapatan label, pengubahan warna garis indeks, pengaturan blok warna kelas ketinggian lahan, dan lain-lain.
Gambar berikut adalah contoh penggunaan kontur interval yang berbeda dari sebuah peta kontur yang sama.
Secara umum, pengaturan kontur interval mengikuti aturan berikut: Kontur Interval = 1/2000 x skala peta dasar Jadi jika menggunakan dasar dengan skala 1 : 50.000 maka seharusnya kontur interval peta adalah 25 meter. Beda tinggi antar garis kontur tersebut terpaut 25 meter. Seandai peta dasar tersebut diperbesar menjadi skala 1: 25.000, maka kontur intervalnya pun juga harus diubah menjadi 12,5 meter.
7. Overlay peta kontur
Overlay peta kontur dimaksudkan adalah menampakkan sebuah peta kontur dengan sebuah data raster, atau sebuah peta kontur dengan model tiga dimensi. Overlay ini memudahkan analisis sebuah wilayah dalam kaitannya dengan kontur atau bentuk morfologi lahan setempat.
8. Penggunaan peta dasar
Peta dasar yang digunakan pada Surfer dapat berasal dari peta-peta lain ataupun data citra seperti foto udara ataupun citra satelit. Peta dasar tersebut dinamakan Base Map.
Proses kedua ini sering disebut dengan istilah grid-ding. Proses gridding menghasilkan sebuah file grid. File grid digunakan sebagai dasar pembuatan peta kontur dan model tiga dimensi. Berikut adalah diagram alur secara garis besar pekerjaan dalam Surfer.

Money Free

Finance Freedom Success